Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Apa Kabar Sopir Angkot Bandung, Masihkah Bisa Bertahan Hidup?

5 Oktober 2023   09:09 Diperbarui: 5 Oktober 2023   21:35 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terharu juga mendengarnya. Ia pun menuturkan kalau sepuluh tahun yang lalu ia menggantikan mamangnya menjadi sopir angkot. Mamangnya sendiri pulang ke kampung di Garut menjadi petani menggantikan kakek yang belum lama meninggal, waktu itu. Sebelum menjadi sopir awalnya ia kernet angkot. Kernet pada angkot yang disopiri mamangnya.

Dulu mamangnya hidup layak sebagai sopir angkot. Tidak terbilang makmur, tetapi masih bisa menabung. Sisa setoran buat juragan angkot, bisa untuk makan, dan sewa kamar. Bahkan dua atau tiga bulan sekali bisa mengirimi uang buat istri dan anaknya di kampung. Ia sendiri sebagai kernet lajang sesekali mengirimi uang buat ibunya.

"Kalo sekarang?"
"Nihil Pak, hehe..."
"Maksudnya?"
"Anu Pak, sekarang ini untuk nutup setoran saja  susah."

Ia menggaruk-garuk kepalanya. Sering, katanya ketika setoran tidak cukup bahkan untuk makan pun ia diberi juragan angkot.

Waktu mamangnya mengakhiri karir menyopir untuk beralih bertani, rupanya itu merupakan awal ambruknya bisnis angkot di Bandung. Saat itu mulai marak kredit sepeda motor maka sebagian penumpang angkot beralih mengendarai motor. Akhir-akhir ini yang paling menusuk hadirnya ojeg dan taksi online. Tak ada lagi yang melirik angkot. Belum lagi soal kemacetan dan gangguan preman, penyakit menahun dalam dunia lalu-lintas di Bandung. Sepanjang perjalanan sopir angkot itu seolah tak pernah lepas dirundung nestapa.

Beruntung mamangnya bisa diselamatkan. Di kampung, sekalipun tak kaya sebagai petani mamang masih bisa bertahan hidup.

Kelu lidahku mendengarnya, betapa getir kisah hidupnya. Aku yang pensiunan merasa penghasilanku jauh melorot. Tetapi dengan efisiensi dan mengurangi keinginan yang tidak perlu kalau sekadar hidup sederhana, rasanya tidak harus mengemis.

"Minggu depan, mungkin saya juga akan pulang kampung. Bertani."

Mendengar kata "bertani" telingaku mengembang. Sejak pensiun kata itu sangat familiar di telinga, senang sekali mendengarnya. Aku hoby bertani sekalipun tak punya lahan. Sudah senang berkebun di lahan sejengkal, di halaman rumah.

"O bagus itu. Ada punya lahan di kampung sana?"

Sopir angkot kurus ceking itu menggelengkan kepala. Katanya di kampung sudah sangat jarang orang bertani di sawah atau kebun sendiri. Lahan pertanian sekarang lebih banyak dimiliki orang kaya dari kota. Sebagian orang kampung paling banter jadi petani penggarap. Selebihnya hanya buruh tani, bahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun