"Betul-betul kapok dah. Hasil mencukur biarpun hanya cukup buat makan, hidup tenang."
Pak tua masih beruntung punya keterampilan memangkas rambut. Sementara di dalam gang banyak orang tak sanggup apa-apa, hidup mengandalkan belas kasihan orang lain.
"Cukup gak, Pak?"
Aku memegangi kepala mulai dari samping di dekat telinga lalu ke belakang, mengusap-usap pelan. Aku mengangguk kemudian bertanya soal berapa tarifnya yang dijawab bapak tua itu dengan menyebut sejumlah angka.
Aku menyodorkan selembar uang kertas Rp 20 ribuan. Harga yang bersahabat. Tukang cukur itu menerima uang dengan gembira. Uang kertas itu dipegangnya dengan dua tangan, diacungkan ke atas di depan wajahnya sambil dikibas-kibas. Kutatap pelipisnya berkeringat. Aku permisi.
Di luar matahari panas menyengat, efek el nino. Baru beberapa langkah aku meninggalkan tukang pangkas itu, terdengar suara pintu kios ditutup. Aku menengokkan kepala melirik ke belakang. Tampak bapak tua tukang cukur itu berdiri di depan kiosnya, lalu melangkahkan kaki menyeberang jalan masuk ke warung nasi. Boleh jadi, ia baru sempat makan yang pertama kalinya pada hari itu. Sesiang itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H