Aku sedang berada di kebun. Duduk di tanah bertiga menghadapi tungku yang menyala. Tungku sederhana dari tiga batu yang disusun saling berhadapan. Di atasnya kaleng bekas susu formula berisi air yang mengepul dibakar api kayu bakar dari ranting-ranting dan dedaunan kering.
Tak jauh dari tungku sekantung plastik kecil bubuk kopi tergeletak. Di sampingnya beberapa butir potongan gula merah sebesar ibu jari menemaninya bersama tiga cangkir seng kosong. Cangkir seng itu di beberapa tempat sudah mengelupas catnya sehingga tampak menghitam.
Di hadapan, pandanganku menyapu kebun kol yang sangat luas. Luas sekali seperti tak ada ujungnya. Ujung-ujung daunnya yang tua, hijau pekat mulus tak tampak bolong-bolong. Bersih dari ulat, melambai-lambai tertiup angin. Kolnya yang menjelang dipanen itu tampak bulat sempurna macam kucing meringkuk. Berderet-deret, saking luasnya kebun kol itu sepintas tampak seperti lautan.
Tentang kami bertiga aneh memang, sebelumnya tidak saling mengenal. Tiba-tiba kami duduk bersama menghadapi tungku, ngopi sama-sama.
Aku merasa bersyukur dengan perkembangan peradaban manusia yang begitu hebatnya. Sejak ditemukan api dan bahasa kita dengan mudahnya berkumpul dan bercengkrama bahkan dengan orang yang belum saling kenal sebelumnya.
Tidak sekadar mengopi orang-orang yang tidak saling kenal dan tidak tahu asal usulnya bisa saling bekerja sama. Tak lagi berburu atau memungut jamur, bersama mengembangkan pertanian sehingga bahan pangan melimpah atau bisa menyimpannya bila berlebih, bahkan. Tak harus kelaparan saat musim tak bersahabat. Lalu lahir ketel uap yang mengawali revolusi industri yang merupakan cikal bakal peradaban manusia modern.
Saat ini di zaman digital kerja sama antar manusia bukan saja bisa terjadi antar orang yang tidak saling kenal bahkan bagi mereka yang tinggal berjauhan. Serpihan-serpihan suatu produk bisa dibuat di berbagai belahan dunia kemudian digabungkan dengan sangat presisi di satu tempat lalu disebarkan lagi ke seantero dunia. Begitu hebatnya peradaban manusia.
Kalau hari ini di beberapa titik di di dunia masih saja terjadi pertikaian antar manusia sepertinya itu sebuah anomali. Saat ini tak ada alasan yang masuk akal untuk saling curiga atau berebut sumber daya. Tidak relevan lagi mencuri dan merampok atau berperang untuk memperluas kekuasaan atau pengaruh. Kerja sama merupakan kompromi yang saling menguntungkan. Lagi pula damai.
Begitu juga ketika kami duduk bertiga tanpa saling mengenal. Kami mengopi bersama di kebun yang luas tanpa tahu batas-batasnya.
Harum uap kopi yang diseduh air mendidih meruap memenuhi rongga hidungku. Bau wanginya membuyarkan lamunan. Aku melirik ke samping, kutengok kedua kawanku sedang menyesap kopi panas yang mengepul. Mereka tidak saling berbicara. Tetapi dari bahasa tubuhnya mereka terlihat sangat bersahabat.
Satu cangkir yang tersisa sudah terisi kopi panas, buatku. Telunjuk dan jempolku meyatu untuk mengepit segelintir gula yang tersisa. Aku ingin menggigit gula itu sedikit selanjutnya disiram sedikit-sedikit dengan seduhan kopi pahit itu langsung di mulutku. Dengan lidah di rongga mulutku gula dan kopi pahit itu akan kuaduk-aduk hingga menimbulkan sensasi manis-pahit yang bergonta-ganti. Tetapi belum juga segelintir gula itu menempel di bibir tiba-tiba saja jari kelingkingku menempel di cangkir kaleng yang panas itu. Ups, gerakan sepontan kaget membuat cangkir terjungkal.
Belum sempat aku menyaksikan cangkir kopiku tumpah, mataku terbuka terjaga dari tidur. Kuraih  HP di samping tempat tidurku, jam 2 pagi. Mimpi, pikirku.
Sekuat itu hasratku untuk berkebun hingga terbawa ke tempat tidur. Besoknya aku berangkat ke Cihideung mencari bibit buah-buahan.
Cihideung, Lembang sangat familiar bagi pencinta tanaman hias. Orang-orang di sana memanfaatkan lahan bukan untuk berkebun sayur tetapi membudidayakan beragam tanaman hias. Setiap hari ramai dikunjungi orang untuk mencari bunga potong, bibit bunga dan tanaman hias atau sekadar pelesiran menikmati pemandangan alam yang memesona. Beberapa menjual juga bibit buah-buahan terutama yang bisa ditanam di pot atau halaman rumah.
"Silakan Pak. Ini ada kelengkeng, mangga gedong, jeruk santang, jambu kristal. Alpukat juga ada."
"Alpukat?"
Serta-merta aku teringat tanaman alpukat yang merana di Cikalong Wetan, tempo hari. Di kebun yang diperkenalkan sebagai kavling avocado itu aku menemukan pohon alpukat yang tidak terawat.
"Iya Pak. Ini hanya ada dua pohon, satu aligator satunya kendil."
Aku kaget, di tukang bibit buah pun bibit alpukat itu tidak menarik pikirku. Kurang subur, daun dan rantingnya meranggas.
"Gak ada yang bagus?"
"Hanya ini, tidak laku. Suka banyak ulat, katanya."
"Memang begitu?"
"Ya, tidak tahu. Saya hanya jual bibit belum pernah menanam sampai tinggi."
Aku pilih alpukat kendil. Bukan karena aku tahu produktivitasnya tetapi hanya kulihat lebih sehat. Kupeluk polybagnya lalu kubawa pulang.
Sesampainya di rumah aku menggali tanah di pekarangan rumah. Pekarangan rumahku tidak terlalu luas tetapi kalau hanya untuk menanam satu pohon alpukat rasanya masih cukup.
Kendil, kau kutanam di depan rumahku karena aku jatuh hati dan ingin merawatmu. Tidak perlu bersedih dengan gunjingan orang-orang kalau tubuhmu selalu berulat. Buktikan pada semesta bahwa buahmu yang berlemak itu sungguh nikmat dan kaya manfaat. Tetapi yang lebih penting bagiku, kehadiranmu di halaman rumah bisa menghapus mimpi-mimpi buruk tentang sulitnya untuk memulai berkebun.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H