Satu cangkir yang tersisa sudah terisi kopi panas, buatku. Telunjuk dan jempolku meyatu untuk mengepit segelintir gula yang tersisa. Aku ingin menggigit gula itu sedikit selanjutnya disiram sedikit-sedikit dengan seduhan kopi pahit itu langsung di mulutku. Dengan lidah di rongga mulutku gula dan kopi pahit itu akan kuaduk-aduk hingga menimbulkan sensasi manis-pahit yang bergonta-ganti. Tetapi belum juga segelintir gula itu menempel di bibir tiba-tiba saja jari kelingkingku menempel di cangkir kaleng yang panas itu. Ups, gerakan sepontan kaget membuat cangkir terjungkal.
Belum sempat aku menyaksikan cangkir kopiku tumpah, mataku terbuka terjaga dari tidur. Kuraih  HP di samping tempat tidurku, jam 2 pagi. Mimpi, pikirku.
Sekuat itu hasratku untuk berkebun hingga terbawa ke tempat tidur. Besoknya aku berangkat ke Cihideung mencari bibit buah-buahan.
Cihideung, Lembang sangat familiar bagi pencinta tanaman hias. Orang-orang di sana memanfaatkan lahan bukan untuk berkebun sayur tetapi membudidayakan beragam tanaman hias. Setiap hari ramai dikunjungi orang untuk mencari bunga potong, bibit bunga dan tanaman hias atau sekadar pelesiran menikmati pemandangan alam yang memesona. Beberapa menjual juga bibit buah-buahan terutama yang bisa ditanam di pot atau halaman rumah.
"Silakan Pak. Ini ada kelengkeng, mangga gedong, jeruk santang, jambu kristal. Alpukat juga ada."
"Alpukat?"
Serta-merta aku teringat tanaman alpukat yang merana di Cikalong Wetan, tempo hari. Di kebun yang diperkenalkan sebagai kavling avocado itu aku menemukan pohon alpukat yang tidak terawat.
"Iya Pak. Ini hanya ada dua pohon, satu aligator satunya kendil."
Aku kaget, di tukang bibit buah pun bibit alpukat itu tidak menarik pikirku. Kurang subur, daun dan rantingnya meranggas.
"Gak ada yang bagus?"
"Hanya ini, tidak laku. Suka banyak ulat, katanya."
"Memang begitu?"
"Ya, tidak tahu. Saya hanya jual bibit belum pernah menanam sampai tinggi."
Aku pilih alpukat kendil. Bukan karena aku tahu produktivitasnya tetapi hanya kulihat lebih sehat. Kupeluk polybagnya lalu kubawa pulang.
Sesampainya di rumah aku menggali tanah di pekarangan rumah. Pekarangan rumahku tidak terlalu luas tetapi kalau hanya untuk menanam satu pohon alpukat rasanya masih cukup.