Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Naik Kereta Api Sepuluh Tahunan yang Lalu Mengasyikan, Meskipun Kadang Konyol

29 September 2022   11:30 Diperbarui: 29 September 2022   16:15 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen pribadi

Pulang dari Yogya ke Bandung Jumat malam, kembali dari Bandung ke Yogya Minggu malam lebih sering naik kereta Lodaya malam. Tetapi, tidak selalu begitu, kadang naik Mutiara Selatan, Malabar atau kereta api eksekutif Turangga tergantung dapatnya tiket.

Ketika hanya sesekali naik kereta tiket tak pernah menjadi persoalan. Tetapi sejak rutin naik kereta, tiket kereta menjadi persoalan tersendiri. Saya tidak berani membeli tiket sesaat menjelang keberangkatan. Jauh-jauh hari harus sudah memiliki tiket agar aman pada setiap bepergian untuk pergi dan pulang.

Dulu, sebelum CEO PT KAI dipegang Ignasius Jonan, untuk memperoleh tiket kereta api memerlukan perjuangan berat. Tiket hanya dijual di stasiun kereta atau beberapa agen yang ditunjuk yang jumlahnya tidak banyak.

Tidak jarang setelah beberapa lama mengantre di depan loket penjualan tiket, tahu-tahu tiket habis. Penjualan tiket beralih di pasar gelap, ke para calo yang berkeliaran di sekitar stasiun sekalipun di sana terpasang spanduk peringatan, "Hati-hati dengan Calo Tiket."

Sekalipun sulitnya berburu tiket, naik kereta tetap mengasyikan. Sering ketika di rumah tak sempat makan malam bisa memesan nasi goreng atau nasi bipstik sesaat setelah kereta api beringsut dari stasiun ditambah susu panas atau sesekali kopi hitam.

Yang lebih mengasyikan saya bisa menyalurkan hobi membaca dengan leluasa. Tak pernah lupa di ransel selalu disisipkan buku sebelum berangkat ke stasiun untuk dibaca di atas gerbong. Di gerbong kereta api saya menjadi tahu berapa persen penduduk kita yang suka membaca. 

Dari jumlah tempat duduk sebanyak 80 -kalau penuh, hanya satu dua yang membuka buku dalam perjalanan. Sebagian besar mereka langsung tertidur pulas, bahkan mendengkur. Sebagian kecil asik mengobrol sebelum akhirnya tertidur.

Sangat dimaklumi penumpang dari Yogya di akhir pekan sebagian besar pegawai yang kelelahan setelah seminggu bekerja, sisanya pedagang yang mau mencari peruntungan di Bandung segera berangkat tidur sedini mungkin agar tidak mengantuk saat berjualan besok.

Lainnya, adalah penumpang yang tidak bisa ditebak kenapa malam itu naik kereta juga segera ambil selimut dan tidur karena tak ada yang bisa dikerjakan.

Saya dari Stasiun Tugu membaca buku rata-rata sampai Stasiun Kroya sebelum kemudian melipatnya lalu tidur. Begitu juga kalo berangkat dari Bandung, Stasiun Kroya menjadi batas untuk mengakhiri membaca.

Sampai akhirnya ditugaskan kembali di Bandung pertengahan tahun 2013 tak kurang dari 3 tahun bisa menikmati layanan kereta api setiap dua minggu sekali. Pulang pergi Yogya-Bandung atau sebaliknya. Ada banyak kenangan indah selama itu. Banyak bertemu orang dari berbagai kultur dan usia, laki-laki atau perempuan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun