Aku bangga dan terpesona dengan kehidupan Uwak, saat itu. Satu-satunya saudara ibuku yang terbilang sukses di Jakarta, sementara ibuku hanya seorang guru SD, dan kedua adiknya bekerja serabutan di kampung. Begitu juga saudara dari ayah, tak satu pun yang bekerja dan sukses di Jakarta. Pigur Uwak itulah yang memicuku untuk sekolah setinggi-tingginya agar bisa sukses dan hidup di kota besar.
Merasa disadarkan dari melamun, aku mengangguk. Tidak lama kemudian aku sudah duduk di kursi tinggi yang bisa disetel naik-turun dan tegak-rebah itu. Khas kursi pangkas dengan berselimut kain warna abu-abu agar kemejaku tak tertimpa sisa potongan rambut.
"Mau model yang mana, Bang?" tanya Uwak, eh tukang pangkas rambut itu sambil memperlihatkan selembar poster yang ditempel di depan di atas cermin. Poste lebar itu memuat banyak foto manusia tampak muka dengan model rambut yang berbeda-beda. Aku menunjuk salah satu yang aku suka.
"Pendek, rapi ya Bang?"
Aku mengangguk. Ia pun mulai memotong rambut bagian belakang di kepalaku.
Gunting rambut mirip kepiting dengan tenaga listrik itu bergerak merayap di batok kepalaku melahap bagian rambut yang tumbuh menutupi kerah baju. Selesai memotong bagian belakang tukang pangkas itu menanyakan kepadaku apakah sudah cukup pendek atau ingin lebih pendek lagi seraya mematikan mesin gunting rambut untuk sementara.
"Cukupkah?"
Di kios pangkas rambut itu dipasang dua cermin selebar dinding dengan tinggi satu meter. Satu dipasang di depan, satu lagi dipasang di belakang. Untuk memastikan aku tidak perlu menengok ke belakang, cukup melihat cermin di depan, bagian belakang kepala akan tampak memantul di cermin yang dipasang di depan. Aku hanya mengangguk memberi isyarat kalau potongan rambut sudah cukup. Begitu juga ketika selesai memotong bagian samping kiri dan kanan, bagian atas dan bagian muka, ia selalu bertanya, "Cukupkah?" yang selalu ku jawab dengan anggukan. Di luar itu, ia pun bertanya hal-hal lain yang merupakan khas tukang cukur, selain pandai memangkas rambut ia piawai juga mengobrol. Aku sering hanya mengangguk atau menggeleng ketika tukang cukur bertanya perihalku. Aku tak pandai bercerita, tetapi aku suka semua obrolan tukang cukur karena dengan demikian waktu seakan tak terasa, tiba-tiba selimut kain sudah dilepas dan dikibaskan di samping kursi sebagai isyarat aktivitas pangkas rambut sudah berakhir.
"Bang, kerja di beng (maksudnya bank)?"
Aku mengangguk.
"Beng yang diseberang sana tu?"