"Bang, tiket Jakarta Bang!"
Seorang calo tiket menawarkan tiket dengan suara seperti membentak sambil tangannya mengacungkan lembaran tiket nyaris ke mukaku. Aku menggeleng.
"Ambilah, Bang. Sudah murah ini!"
Abang ini tidak mengerti kalau menggeleng itu artinya menolak. Lagi pula kami ini baru saja turun dari pesawat masak harus terbang lagi. Alih-alih menggubris aksi calo itu, aku memanggil sopir taksi yang berseragam. Ini kulakukan sesuai saran kawan Robert, "Di Medan, bertanyalah kepada orang-orang yang berseragam. Mereka orang resmi, bukan kaleng-kaleng!"
Setelah sepakat ongkosnya kami pun naik taksi meluncur ke Komplek Perumahan Dosen USU, di Jalan Doktor Mansur, Padang Bulan.
"Horas Bah, ayo masuk halak Sidempuan!" seperti kawan lama tidak berjumpa.
Ibunya Robert menyambut kami dengan sangat akrab. Setelah membayar ongkos taksi kami pun masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu sudah tersaji sirup markisa dan kue bika ambon. Setelah duduk kami pun diminta untuk segera meminumnya. Pasti haus, katanya karena udara kota Medan panas sekali.
"Si Robert, sangat beruntung dia. Baru sampai kemarin sore sudah langsung dapat tempat kos. Bosnya sangat baik, dipinjaminya kereta, bisa dibawa pulang pula ke tempat kosnya!"
Sirup markisa dingin yang baru masuk kerongkonganku nyaris menyembur keluar dari mulutku mendengar kalau Robert boleh membawa kereta ke tempat kosnya, di Surabaya. Kereta mainan atau apa, sampai bisa diparkir di rumah?
Gerbong kereta api Bima saja panjangnya tak kurang dari 10 meter, mana bisa diparkir di depan rumah. Aku tergelak setelah dijelaskan bahwa kereta yang dipinjam Robert itu adalah kereta Jepang merknya Honda Win.
Di Jawa, namanya sepeda motor. Penyambutan orang tua Robert yang begitu akrab membuatku lupa dengan peristiwa konyol di Bandara Soeta tadi pagi, bahkan lupa kalau perjalanan menuju Padangsidempuan masih jauh. Bolu bika ambon pun meluncur dengan lancar di kerongkonganku.