Keesokan paginya ia kembali melanjutkan perjalanan. Tak lupa Ringga mengisi perbekalannya dengan semua yang bisa ia temukan di hutan atap berongga. Kini dirinya telah kembali menyusuri jalan menuju ke arah selatan sesuai dengan petunjuk peta miliknya. Sebelum berkelana meninggalkan desa tebing tombak, Ringga tak tahu harus memutuskan akan pergi ke mana. Namun ia mengingat kembali isi dari buku miliknya yang ia beli dari seorang saudagar, Ringga sudah lama tertarik dengan cerita padang rumput batu senandung di dalam buku dan kerap bertanya-tanya mungkinkah ada hal semacam itu di dunia ini. Jadi dirinya memutuskan untuk pergi ke sana ketimbang terus berkelana tanpa tujuan dan menentukan rencana selanjutnya nanti.
Ia kembali berjalan sangat jauh hingga melewati rawa dalam. Sebuah tempat dengan pemandangan yang sangat berbanding terbalik dibandingkan dengan hutan atap berongga, dimana langit begitu kelam karena sinar matahari terhalang oleh awan hitam yang melayang tenang di atas langit, seakan sedang menguntit Ringga. Tak terlalu lama dirinya berjalan melewati tempat itu akhirnya ia telah sampai di perbatasan hutan awan kelam. Entah mengapa Ringga merasa tak ingin masuk ke dalam sana, terlepas dari suasana di dalam hutan yang terlihat begitu mencekam dari sela-sela pepohonan, dirinya merasa akan terjadi hal buruk jika ia pergi ke dalam sana.
Namun sialnya ketika Ringga mencoba memperhatikan peta untuk memeriksa kemungkinan adanya jalan lain selain melewati hutan awan kelam, ia tidak mendapati apapun. Di dalam peta miliknya hanya memberi petunjuk kalau ia harus melewati hutan awan kelam. Ringga melihat-lihat ke sekelilingnya tapi tak kunjung terpikirkan cara lain. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, Ringga akhirnya dengan terpaksa harus memberanikan diri untuk masuk ke dalam hutan. Ia mengencangkan ikatan tas di punggungnya dan menggenggam erat sebuah tongkat kayu yang ia bawa dari hutan atap berongga, kemudian dengan hati-hati melangkah masuk ke dalam hutan suram di hadapannya.
Begitu masuk ke dalam gelapnya belantara hutan awan kelam, naluri bertahan hidup Ringga secara otomatis menyalakan peringatan waspada. Semakin jauh ia menembus ke dalam hutan, semakin dirinya bisa merasakan suasana kengerian di sana. Ringga yakin ini masih tengah hari, tetapi suasana di sana layaknya malam karena cahaya matahari tak sanggup menembus ke dalam hutan. Selubung tipis kabut yang menyelimuti sekeliling hutan menambah suasana kian gelap dan mencekam. Ringga tak tahu sudah sampai dimana sekarang, tapi dirinya yakin telah berjalan cukup lama menyusuri hutan awan kelam dan hampir tiba di bagian tengah hutan. Ketika Ringga sibuk menyingkirkan dedaunan menjulang yang menghalangi jalannya, ia mendadak mendengar suara menggeram. Dari apa yang ia dengar, dirinya memperkirakan kalau suara itu berasal dari makhkluk berukuran besar. Tapi ia tak tahu dimana keberadaan makhluk itu. Ringga menelan ludah sembari menggenggam tongkat kayu di tangannya lebih erat lagi, kini dengan kedua tangan. Ringga berusaha tenang tapi jantungnya meletup-letup tak karuan. Ia menapak ke depan dengan sangat perlahan dan hati-hati agar posisinya tak diketahui.
Entah apakah ini badai setelah pelangi, tetapi Ringga tak menyangka sama sekali bahwa hari ini akan menjadi hari sialnya, bahkan bisa dibilang terlampau sial. Semuanya terjadi begitu cepat ketika dua monster raksasa melompat tepat di depannya yang entah dari mana mereka berasal. Di hadapannya kini berdiri dua kucing raksasa yang terlihat sangat buas, menggeram sambil memamerkan deretan gigi taring mereka pada Ringga. Ringga berusaha mengusir kedua kucing setinggi dirinya itu dengan tongkat kayu digenggamannya yang ia tusuk-tusukkan ke arah depan. Namun usahanya sia-sia, hanya dengan satu tepukan kaki depannya, salah satu kucing raksasa itu berhasil menghempaskan tongkat dari tangan Ringga dan membuat dirinya terjengkang ke belakang.
Melihat Ringga jatuh tak berdaya, kedua kucing raksasa itu perlahan menghampirinya, deru nafas hangat terasa berhembus kencang di kakinnya. Kini, dirinya hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya, Ringga memalingkan wajah lalu memejamkan matanya, air mata mulai menetes deras membasahi pipi. Tubuhnya bergetar ketakutan, sekelibat ia merasakan penyesalan dan berpikir betapa bodohnya pergi meninggalkan desa karena tak ingin menjadi seorang peramu hanya untuk berakhir tragis seperti ini. Namun, ketika dirinya merasa sudah tak memiliki harapan sama sekali, Ringga mendengar suara lagi, tapi kali ini adalah teriakan dari seorang pria.
 "Fonfon, Nuki! Apa yang kalian lakukan disana, aku mencari kalian ke mana-mana!" seru pria itu menghampiri si kedua kucing raksasa "hei, lihat apa yang kalian temukan," sambungnya ketika melihat seorang gadis yang tergeletak ketakutan di depan rekan kucingnya
Ringga memberanikan diri untuk membuka kedua matanya. Ia melihat seorang pemuda yang kira-kira seumuran dengan dirinya berdiri beberapa langkah di depannya. Kucing raksasa buas yang hendak menerkam Ringga tadi, seketika berubah menjadi dua makhluk raksasa manja di hadapan pemuda itu, tergambar jelas dari dengkuran mereka dan cara keduanya menggosok-gosokkan badan pada pemuda yang terlihat kewalahan karena ukuran mereka berdua.Â
"Kau tidak apa-apa nona? maaf atas kelakuan kedua temanku yang sepertinya membuatmu ketakutan," ucap pemuda itu sembari menjulurkan tangan saat menangkap air muka Ringga yang nampak ketakutan setengah mati
"Temanmu hampir mencabikku, lagi pula bagaimana kau bisa berteman dengan makhluk buas seperti itu?" ketus gadis itu sambil berdiri, mengabaikan uluran tangan di depannya sembari mengusap sisa air mata di pipinya
"Mereka tidak buas nona, mereka hanya belum mengenalimu saja, dan mereka suka bermain-main," Pemuda itu mengambil jeda memperhatikan Ringga "bagaimana kau bisa berada di hutan ini nona? Kurasa ini bukan tempat yang tepat untukmu"