Mohon tunggu...
Johanes VivaldiKaryaadi
Johanes VivaldiKaryaadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya gemar membaca novel, dan sedang berusaha menulis novel pertama saya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Batu Senandung

4 September 2024   10:08 Diperbarui: 9 September 2024   02:37 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Upacara pengangkatan peramu akan diselenggarakan esok pagi di alun-alun desa tebing tombak. Acara ini sangat penting dan dianggap sakral oleh para penduduk desa. Pemuda-pemudi yang sudah mencapai tingkat akhir di sekolah meramu akhirnya akan resmi menjadi peramu tingkat satu. Semua orang nampak sangat antusias saling bahu-membahu mempersiapkan upacara esok hari. 

Kira-kira sudah empat abad lebih lamanya penduduk desa tebing tombak meyakini bahwa takdir semua orang disana adalah menjadi peramu. Sebagaimana yang dititahkan oleh para dewa kepada mereka. Mulai dari para pengajar di sekolah meramu desa, hingga para tetua yang dihormati juga mengatakan hal demikian. Tak heran jika desa tebing tombak juga dikenal sebagai desa peramu oleh orang-orang di negeri kerajaan utara.

Namun semuanya nampak berbeda bagi Ringga. Ya, mungkin hanya Ringga lah satu-satunya di desa tebing tombak yang berpikiran lain perihal takdir yang selalu diagung-agungkan semua orang di desanya. Tidak ada sedikit pun niat hatinya untuk menjadi seorang peramu, seperti layaknya para remaja lain di desa itu yang dengan sangat bangga dan tak sabar untuk menyandang gelar tersebut ketika beranjak dewasa. Dirinya selalu bertanya-tanya sendiri dalam pikirannya, tidakkah ada kemungkinan lain, profesi lain, atau mungkin takdir lain yang bisa dijalani selain sebagai peramu di dunia ini?

Letak desa yang terpencil kurang memungkinkan bagi penduduk desa tebing tombak untuk mengetahui tentang dunia luar ataupun berinteraksi dengan orang dari luar desa. Hanya para saudagar yang sering keluar masuk desa untuk keperluan dagang dan pertukaran barang, sangat jarang ada pengunjung lain. Melalui salah seorang saudagar yang memasuki desanya itulah Ringga menemukan sesuatu yang kelak akan membuka pikiran dan juga memberinya sebuah harapan baru. 

Kala itu Ringga sedang mengantri untuk menjual makanan hasil olahan keluarganya ketika dirinya menemukan sebuah benda yang tertumpuk di gerobak belakang kereta kuda milik seorang saudagar yang sedang singgah ke desanya. Benda itu adalah sebuah buku yang berjudul Petualangan ke Penjuru Negeri. Ringga membeli buku tersebut, buku yang akan dianggap kebanyakan orang di desanya sebagai benda tak berguna karena tak ada bahasan tentang meramu sama sekali. Ia membelinya berlandaskan rasa bosan sebab di perpustakaan desa tak ada buku yang membahas persoalan lain selain teknik meramu dan kumpulan resep makanan.  Tapi siapa saja yang menganggap buku baru Ringga itu membosankan, mereka telah keliru. Karena Ringga mendapati buku yang dibelinya ternyata merupakan sebuah harta karun, setidaknya bagi dirinya sendiri. 

Ringga sering datang ke sebuah tebing di dekat desa untuk melarikan diri dari pelatihan khusus meramu. Pelatihan ini dikhususkan bagi anak-anak desa tebing tombak yang dirasa tidak memiliki bakat dalam meramu. Kala Ringga sangat muak dengan semua pelatihan itu, ia memilih menghabiskan harinya dengan melamun sembari menikmati pemandangan indah dari atas tebing yang berbentuk seperti mata tombak menunjuk ke selatan, mengandai-andai hal menarik apakah yang terletak jauh di bawah sana. Di atas tebing itulah rasa penasaran juga impian Ringga terus terpupuk hingga dirinya beranjak dewasa. Dan semenjak Ringga memiliki buku yang ia beli dari saudagar, pemandangan dari atas tebing perlahan menjelma menjadi sebuah tekad untuk berpetualang. Terlebih saat dirinya menemukan sebuah peta yang terselip di salah satu halaman buku, peta dunia tempatnya berada.

Pada malam sebelum upacara pengangkatan peramu dirinya dilanda bimbang. Ia terduduk di atas tempat tidur di dalam kamarnya sambil memegang sebuah peta dan memandanginya di bawah sinar lampu minyak. Ringga tak ingin menjadi peramu, tapi jika tetap berada di desa itu, tidak ada pilihan lain untuknya. Dirinya kini sadar bahwa ia harus berani mengambil pilihan sulit jika tak ingin berakhir menjadi seorang peramu. Dirinya ingin sekali membicarakan kebingungan yang ia rasakan pada kedua orangtuanya, tapi Ringga paham betul kalau hal tersebut akan berakhir sama saja seperti sebelum-sebelumnya, atau mungkin bisa saja lebih runyam dengan apa yang akan dikatakannya saat ini. Setelah memikirkan lagi semua kemungkinan dengan matang, Ringga merasa tak ada pilihan lain lagi. Ia tak ingin menghabiskan sisa hidupnya yang masih panjang untuk menjadi peramu.

Jadi beberapa jam sebelum matahari menampakkan dirinya, Ringga memutuskan untuk pergi meninggalkan desa tebing tombak. Ringga menyelinap keluar rumah di saat kedua orang tuanya tertidur pulas, lalu bergegas menuju perbatasan dan meninggalkan desa. Suatu hari nanti bisa saja Ringga akan menyesali keputusannya itu, tetapi yang bisa dirinya lakukan saat ini hanyalah menelan semua keraguan bulat-bulat dan menahannya di dalam perut supaya tak ia muntahkan kembali.

Dengan membawa sedikit perbekalan dan bermodalkan selembar peta miliknya, Ringga memulai petualangan yang sudah dirinya nanti-nantikan selama ini. Ia melangkah jauh meninggalkan desa hingga tempat itu tak terlihat lagi dari kejauhan, keraguannya perlahan mulai tergantikan dengan perasaan takjub di dalam perjalanan. Ia melewati banyak tempat yang belum pernah dirinya datangi selama hidupnya, juga melihat berbagai hal yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Sampai tak terasa matahari mulai turun perlahan ke arah barat, menandakan waktu sudah lewat tengah hari dan perjalanan yang ditempuhnya sudah berlangsung sangat lama. Hingga akhirnya Ringga tiba di perbatasan hutan atap berongga, dan memutuskan singgah di sana untuk melepas lelah.

Suasana sore hari di dalam hutan atap berongga terasa begitu damai dan menenangkan. Barisan pepohonan tampak berjajar rapi bersandingan dengan pilar-pilar cahaya yang terbentuk dari pancaran sinar matahari yang menembus hingga ke dasar hutan melalui celah-celah daun dan ranting di puncak pepohonan, membuat keadaan di dalam hutan terlihat terang, tidak seperti kebanyakan hutan lain yang di dalamnya nampak redup. Meskipun sangat terang, udara di sana tidak terasa panas sama sekali, tiupan angin sesekali berhembus perlahan ke dalam hutan disertai gemerisik dedaunan. Hembusan angin juga ikut membawa embun sejuk yang melekat pada daun-daun, menghasilkan hawa segar ke penjuru hutan. 

Ringga dapat dengan mudah menemukan bahan makanan di setiap sudut di dalam hutan, juga segala sesuatu yang dapat menyokong kebutuhan hidupnya. Seakan hutan atap berongga telah menjamin kehidupan semua makhluk yang ada di dalam sana. Karena ia merasa tempat itu cukup aman, Ringga memutuskan untuk bermalam di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun