Cerita mitos apapun versinya kerap dilahirkan dari suatu budaya tertentu.
Masyarakat atau individu tertentu yang dilahirkan dalam kebudayaan dengan penerimaan akan cerita mitos biasanya punya ciri yang khas. Mereka ini pada awalnya akan menerima begitu saja kisah-kisah mitos tertentu.Â
 Ketika individu mencapai kesadaran tertentu, ia mulai belajar menghayati dan memahami apa yang disebut cerita mitos yang diterima dan diproduksi oleh suatu masyarakat.
Saya teringat kisah teman di kantor. Vivi dan Tince, bukan nama sebenarnya. Suatu ketika berkisah tentang perilaku orang tua mereka. Masing-masing memiliki orang tua yang terpelajar, tinggal di kota, dan merupakan penganut agama yang saleh.Â
Mereka selalu bertanya-tanya, mengapa orang tuanya masih saja mempercayai hal-hal mitos. Mereka bercerita bahwa orang tuanya masih mempraktekkan kisah-kisah mitos. Misalnya cerita tentang ibu hamil yang rambutnya harus diselipkan paku. Tujuannya agar sang ibu dan bayi selamat dari gangguan. Atau contoh lainnya tentang rumah harus sering disiram air garam untuk melindungi anggota keluarga yang sakit agar tidak terjadi hal buruk yang lebih berat lagi.
Kisah-kisah ini pada akhirnya dipertanyakan, namun sesungguhnya ada proses penubuhan pengetahuan yang terjadi didalamnya (emboded).
Saat calon pewaris cerita mitos mencapai kesadarannnya, dia mulai belajar menghayati dan memahami apa yang disebut cerita mitos oleh masyarakat terlebih oleh para pendukung cerita mitos ini. Biasanya para pendukung cerita mitos berada dalam lingkaran keluarga inti. Hal ini mengakibatkan kuatnya suntikan pewarisan cerita mitos.
 Penyesuaian atau pengkondisian ini akan menyebabkan si individu pewaris cerita mitos sadar bagaimana cerita mitos itu lalu kemudian belajar menyerap tradisi cerita mitos ini.
Sifat pewarisan tradisi berupa kumpulan cerita ini kemudian berubah menjadi proses produksi pengetahuan berdasarkan pemahaman dan kondisi masyarakat setempat.
Masyarakat lalu dengan mudah bisa mencerap, mempelajari lalu menerima cerita mitos yang diwariskan dan pada akhirnya mewarisi lagi cerita mitos dalam alur yang sama.
Hal yang mengherankan adalah meskipun kekayaan warisan cerita mitologi hanya berupa kisah dengan pola yang sama, dan cenderung berulang, namun tetap diterima oleh sebagian besar masyarakat pendukungnya.
Sebuah cerita mitologi misalnya pada masa sebelumnya tidak diperhatikan namun pada masa tertentu diterima dan diulas secara luas.
Cerita mitos yang beredar pada intinya adalah cerita yang diseleksi berdasarkan kondisi-kondisi tertentu dan atas nilai-nilai yang dipegang oleh suatu masyarakat dan juga generasi tertentu. Pertanyaan yang kuat muncul kemudian akankah cerita mitos ini akan berakhir?
Di Nusa Tenggara Timur ada banyak sekali cerita mitologi yang bahkan masih dipegang dan dirayakan oleh sejumlah besar masyarakat pendukungnya.
Ada kisah mitos tentang buaya yang bersahabat dengan manusia. Di daerah Camplong, Buaya lalu menjadi binatang yang dikeramatkan serta dilindungi. Atau kisah mitologi tentang asal-usul manusia. Di daerah Mollo Kabupaten Timor Tengah Selatan. Masyarakat pendukung menyebut alam adalah perwakilan hidupnya.Â
Hutan diidentikan sebagai rambut, tanah sebagi kulit, batu sebagai tulang dan air sebagai darah.Â
Kisah mitologi ini kemudian mempengaruhi cara pikir dan perlakuan masyarakat lokal akan alam. Alam dianggap perwakilan kehadiran diri dan hidup masyarakat di sana, sehingga apabila alam dihancurkan maka kehidupan akan dihancurkan.
Mungkin sudah saatnya modernitas berpadu dengan kisah mitologi sehingga efek-efek negatif pembangunan bisa dikecilkan. Seefektif ketika membiarkan mama Vivi, menyiram garam di suatu senja untuk melindungi anggota keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H