Pernahkah Anda membayangkan tinggal di Venezuela pada Bulan Juli 2018? Venezuela merupakan salah satu negara yang mengalami hiperinflasi terparah di dunia. Jika Anda berada di Venezuela, Anda akan menemui banyak orang di pinggir jalan yang menjual kerajinan berbahan dasar uang kertas mereka, bolivar Venezuela. Bahkan, harga kerajinan tersebut lebih mahal daripada kumpulan uang kertas yang digunakan untuk membuatnya. Bolivar Venezuela menjadi tidak berharga karena masyarakat Venezuela sudah tidak percaya dengan pemerintah dan mata uangnya sendiri.
      Sejak pertama kali mengalami hiperinflasi pada tahun 2014 hingga saat ini, perekonomian Venezuela tak kunjung pulih. Keadaan Venezuela juga cukup buruk. United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR) menyatakan hingga akhir tahun 2023, ada lebih dari 7,7 juta orang Venezuela yang mengungsi. Jumlah pengungsi ini jauh lebih banyak daripada jumlah pengungsi perang sipil Afghanistan yang berlangsung selama 20 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa tinggal di Venezuela sama atau bahkan lebih buruk daripada tinggal di negara yang sedang mengalami perang sipil.
Artikel ini bukan hanya membuat Anda belajar mengenai pentingnya kepercayaan masyarakat terhadap mata uang, tetapi juga membuat Anda bersyukur memiliki mata uang yang dipercayai seperti rupiah.
      Bagaimana rasanya tinggal di negara yang masyarakatnya sudah tidak percaya dengan mata uangnya sendiri?
      Suatu pagi yang cerah, Anda bangun dari tempat tidur yang empuk. Anda melihat sekeliling dan menyadari bahwa listrik di rumah Anda mati. Namun, Anda tidak kaget karena pemadaman sudah biasa terjadi di pagi hari.
      Setelah diam beberapa saat, Anda memutuskan untuk mempersiapkan makanan dan memasak nasi. Namun, beras yang ada di dapur ternyata sudah habis. Mau tidak mau, Anda harus pergi ke pasar untuk membeli beras. Â
      Saat berada dalam perjalanan, Anda melihat kedai kopi langganan Anda di sebelah kiri jalan. Kedai kopi tersebut sangat menarik. Aromanya membuat Anda memutuskan untuk mampir sejenak dan menikmati secangkir kopi.
      Namun, setelah masuk ke dalam kedai tersebut, betapa kagetnya Anda ketika melihat harga secangkir kopi yang mencapai VES1.000.000 (bolivar Venezuela). Seminggu yang lalu, Anda masih membeli kopi tersebut di harga VES800.000. Bahkan, satu tahun yang lalu harganya hanya VES2.300.
      Bank sentral Venezuela tidak menerbitkan data inflasi sejak tahun 2015 hingga 2019. Hal ini membuat banyak pihak mengukur inflasi Venezuela dengan caranya masing-masing. Salah satunya adalah Bloomberg yang mengukur inflasi Venezuela menggunakan harga secangkir kopi (Caf Con Leche Index). Berdasarkan indeks tersebut, Bloomberg memperkirakan inflasi yang dialami Venezuela pada bulan juli 2018 mencapai 43.378% year-on-year.
Melihat harga kopi yang terlalu mahal, Anda tidak jadi membeli kopi di kedai tersebut dan langsung pergi ke pasar untuk membeli beras.
Sesampainya di pasar, Anda mulai berkeliling dan akhirnya menemukan seorang penjual beras. Namun, penjual tersebut tidak bersedia menjual berasnya kepada Anda karena Anda tidak memegang dolar Amerika Serikat. Faktanya, Anda hanyalah seorang pegawai negeri sipil yang digaji dengan bolivar. Wajar saja jika Anda tidak memiliki dolar.
Anda kemudian mencari penjual lain yang mau menerima uang bolivar, tetapi tidak ada satu pun penjual beras di pasar tersebut yang mau menerimanya. Anda pun tidak bisa membeli beras dan pulang dengan rasa lapar.
   Pada tahun 2018, produksi beras di Venezuela menurun drastis. Menurut data dari International Production Assessment Division (IPAD), produksi beras Venezuela turun sebesar 38,02% menjadi 251.000 ton. Padahal di tahun sebelumnya, produksi beras Venezuela mencapai 405.000 ton. Mereka mengalami kelangkaan beras. Hal ini membuat para penjual beras tidak ingin menukar komoditas langka mereka dengan kertas yang nilainya akan turun dalam beberapa hari ke depan.
      Professor Steve H. Hanke dari Johns Hopkins University mengungkapkan bahwa kondisi di Venezuela menyebabkan dolarisasi sehingga menciptakan dua strata sosial dalam masyarakat. Masyarakat dengan pendapatan dalam bentuk dolar akan lebih mudah membeli barang yang mereka butuhkan ketimbang orang yang berpenghasilan dalam mata uang bolivar, terutama untuk membeli barang yang sedang langka.
      Masalahnya, kelangkaan tidak hanya terjadi pada beras saja. Barang-barang seperti sabun, kebutuhan medis, air bersih, hingga makanan pokok juga langka pada masa itu. Bahkan, negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia ini juga mengalami kelangkaan bahan bakar. Barang kebutuhan pokok berubah menjadi barang mewah di Venezuela.
      Akibatnya, masyarakat Venezuela lebih ingin memegang dolar daripada mata uangnya sendiri karena dinilai lebih aman. Ini adalah bentuk dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap mata uangnya sendiri.
      Secara rupa, uang memang hanyalah sebuah kertas. Bahan yang digunakan untuk membuatnya tidak mahal. Namun, secara filosofis, uang memiliki sebuah nilai yang lebih mahal daripada harga bahan pembuatannya. Nilai tersebut adalah kepercayaan.Â
      Kepercayaan terhadap mata uang merupakan pokok dalam perekonomian yang stabil dan berdaulat. Sekalinya hilang, kepercayaan tersebut akan susah untuk didapatkan kembali.    Â
      Kesusahan untuk mendapatkan kepercayaan masyarakatnya kembali juga dialami oleh Venezuela. Mereka telah mencoba berbagai cara untuk memulihkan nilai mata uangnya, mulai dari melakukan redenominasi mata uang, hingga mengubah mata uang domestiknya dari bolivar fuerte menjadi bolivar venezolano pada tahun 2018. Namun, semuanya sia-sia karena rakyat Venezuela sudah tidak percaya dengan pemerintah mereka. Nilai mata uang mereka terus merosot dan tingkat inflasi Venezuela tetap tinggi.
      Indonesia sendiri pernah mengalami krisis kepercayaan terhadap mata uang, yakni krisis moneter tahun 1998. Efek dari krisis 1998 bisa kita saksikan sendiri. Harga barang kebutuhan pokok jadi melambung tinggi yang membuat banyak masyarakat kelaparan. Hal ini menciptakan kerusuhan dan meningkatnya angka kriminalitas. Banyak masyarakat tak bersalah yang menjadi korbannya.
      Sebelum masa krisis, ekonomi Indonesia sebenarnya sedang bagus-bagusnya. Menurut data Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia antara tahun 1990 hingga 1996 secara rata-rata menyentuh angka 7,24%.
      Namun, penggunaan sistem nilai tukar tetap (Fixed Exchange rate) yang tidak dibarengi dengan pengelolaan cadangan devisa dan hutang luar negeri yang baik menyebabkan rupiah menjadi rentan. Hal ini menciptakan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas berbondong-bondong menukar rupiah mereka dengan dolar Amerika Serikat agar nilai kekayaan mereka tidak merosot (Tarmidi, 1999). Nilai tukar rupiah terhadap dolar jadi melambung hingga sempat menyentuh angka Rp16.800/USD. Semua ini berakar dari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap mata uang rupiah.
      Untung saja krisis tersebut dapat ditangani dengan tepat oleh pemerintahan Presiden Habibie. Dalam bukunya yang berjudul Detik-Detik Yang Menentukan, Presiden B.J. Habibie menuliskan bahwa fokus kebijakan beliau pada masa krisis 1998 adalah mengubah keadaan yang unpredictable (tidak menentu) menjadi predictable (menentu). Presiden Habibie berusaha menciptakan kepastian dengan tujuan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan rupiah sehingga harga menjadi turun.
      Seandainya krisis 1998 tidak ditangani dengan tepat, nilai rupiah akan terus merosot dan pemerintah akan melarang penukaran dolar untuk mencegah pemerosotan rupiah. Meskipun dilarang, masyarakat akan tetap lebih ingin memegang dolar daripada rupiah. Kondisi ini menciptakan pasar gelap yang memperdagangkan dolar. Indonesia akan mengalami perdagangan dolar di pasar gelap layaknya Venezuela dan negara-negara lain yang mengalami hiperinflasi, seperti Zimbabwe dan Argentina.
      Salah satu jalan yang paling tepat untuk negara yang sudah terlanjur mengalami hal tersebut adalah melakukan dolarisasi penuh (Hanke, 2017). Dolarisasi akan menyebabkan penurunan tingkat inflasi dan menstabilkan perekonomian.
      Di Amerika Latin, kebijakan dolarisasi penuh pernah dilakukan beberapa negara untuk memperbaiki kestabilan perekonomiannya, seperti Panama, Ekuador, dan El Salvador. Saat ini, Argentina juga sedang mengajukan proposal untuk melakukan dolarisasi penuh di negaranya. Mereka akan membuang peso Argentina dan menggantikannya dengan dolar sebagai mata uang domestik.
      Namun, dampak negatif dari dolarisasi penuh adalah negara tersebut akan kehilangan kedaulatan ekonomi. Bank sentral mereka tidak punya kendali penuh untuk mengontrol dolar yang beredar di negaranya. Ini adalah harga mahal yang harus dibayar oleh negara yang kepercayaan masyarakatnya telah hilang terhadap mata uangnya sendiri. Pilihannya hanya ada dua, yaitu tetap mengalami inflasi parah dan ketidakstabilan ekonomi, atau menjual kedaulatan ekonominya.
       Kepercayaan memang mahal harganya. Menurut prof. Dr. Syamruddin Nasution, guru besar Sejarah Peradaban Islam UIN Suska Riau, kepercayaan adalah urat nadi kehidupan. Fungsi urat nadi sangat vital, yaitu mengedarkan darah bersih yang kaya akan oksigen dari jantung ke seluruh tubuh. Jika sekali teriris, luka dari urat nadi tersebut bisa menyebabkan kematian.
      Begitu pula dalam perekonomian. Kepercayaan terhadap rupiah adalah hal yang paling vital dalam perekonomian Indonesia. Jika masyarakat Indonesia percaya dengan rupiah, mereka akan mau menukarkan barang dan jasa mereka dengan rupiah. Alhasil, perekonomian akan terus mengalir ke seluruh tubuh Republik Indonesia.
      Kesediaan untuk memegang rupiah merupakan bentuk kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kepercayaan tersebut adalah urat nadi dalam perekonomian Indonesia yang berdaulat. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap mata uangnya sendiri merupakan kondisi paling berat yang bisa menyebabkan kematian kedaulatan ekonomi suatu negara.
      Krisis 1998 telah memberikan pelajaran yang berharga sehingga kita tidak perlu mengalaminya lagi. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang berdaulat di Indonesia, telah mendapatkan banyak pelajaran sehingga menjadi lebih berhati-hati dalam mengontrol peredaran rupiah.
      Oleh karena itu, kita patut bersyukur memiliki rupiah. Di saat anak-anak di Venezuela hanya bermimpi agar mereka bisa makan sampai kenyang, anak-anak Indonesia masih bisa bermimpi untuk menjadi seorang dokter, Youtuber, atau profesi lainnya. Dengan merasa bangga dan percaya terhadap rupiah, kita turut serta dalam menjaga kestabilan dan kedaulatan perekonomian Indonesia. Rasa bangga dan percaya kita terhadap rupiah adalah urat nadi perekonomian Indonesia yang berdaulat.
Â
Referensi
Tarmidi, L. T. (1999). Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF dan saran. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan.
Hanke, S. H. (2017). on Venezuela's Tragic meltdown. Studies in Applied Economics (Issue 78).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H