Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika Positivitas Menjadi Toksik

19 September 2021   07:23 Diperbarui: 19 September 2021   07:28 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Planet Mindful, September- October 2021, hlm. 28-29.

Optimisme berlebihan dan tak henti-hentinya dalam menghadapi kesulitan mungkin lebih banyak bahaya ketimbang kebaikannya.

Cara Mengenali dan Menghindari Toxic Positivity (Positivitas Toksik)
Dari kartu ulang tahun hingga caption Instagram, orang sekarang selalu membagikan kutipan inspirasional. Tidak ada yang salah dengan itu, positivitas adalah sebuah gaya yang kuat untuk kebaikan, satu komentar tepat waktu dari seorang teman atau anggota keluarga bisa menghentikan spiral pemikiran cemas dalam jalurnya.

Akan tetapi, "Positivitas Toksik" tidak sama dengan mencoba untuk tetap berharap ketika Anda sedang merasa down. Positivitas toksik adalah generalisasi berlebihan yang berpotensi tidak sehat dengan mengganggap bahwa optimisme adalah cara terbaik untuk menghadapi semua rintangan hidup.

Jika disampaikan pada waktu yang salah, positivitas toksik menjadi meremehkan, dan yang terburuk adalah menyalahkan orang-orang karena memiliki emosi negatif yang mengakibatkan mereka berlarut-larut dalam emosi negatif tersebut. Jadi, meskipun berpikir positif tetap menjadi metode yang sahih untuk mengatasi situasi yang buruk, itu tidak selalu merupakan cara terbaik, dan tentu saja bukan satu-satunya cara.

Pabrik Positivitas
Tidak bisa disangkal bahwa internet dan media sosial telah memungkinkan pabrik positivitas beroperasi pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Antara 2019 dan 2020, pencarian Pinterest untuk "kutipan positif untuk dijalani" melonjak sebesar 279 persen.

Tapi itu bukan hal baru, penulis Prancis Voltaire telah menyebutkan tentang positivitas toksik sejak abad ke-18 ketika filsuf Jerman Leibniz berpendapat bahwa kita hidup dalam "dunia terbaik dari semua yang mungkin." Setiap kejahatan dan penderitaan, menurut Leibniz, bisa diatasi dengan iman.

Balasan Voltaire dalam novel satirnya pada 1759, Candide, menantang sikap optimistik ini dengan menyoroti fakta terang-terangan tentang perang, bencana alam, dan kemalangan pribadi. Akan tetapi, hampir 3 abad kemudian, optimisme Leibnizian terus hidup dalam sebuah industri positivitas bernilai miliaran pound sterling.

Reaksi terhadap curahan positif ini diwujudkan dalam #instagramvsreality, dengan gambar dan cerita dari realitas yang lebih keras, yang memutus aliran berita baik dan perayaan yang secara konvensional memenuhi platform media sosial.

Kesaksian baru-baru ini yang diberikan oleh para atlet selama Olimpiade Tokyo, misalnya pesenam Amerika Simone Biles, juga menunjukkan bahwa masyarakat menjadi lebih sadar bahwa siaran, ketimbang menyeringai dan menahan emosi dan pengalaman negatif, bisa bermanfaat bagi semua orang.

Gejala Positivitas yang Berlebihan
Faktanya, sebuah kajian pada 2008 menunjukkan bahwa secara konsisten mengingatkan diri sendiri untuk bersyukur atas apa yang kita miliki saat berada di tengah perselisihan dan pergumulan tidak benar-benar mengurangi perasaan sedih, takut, atau cemas.

Baru-baru ini, pada 2018, sebuah kajian terhadap 1.300 orang dewasa menemukan bahwa orang-orang yang terbiasa menerima pikiran dan emosi yang menantang ketimbang menghakimi cenderung memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik dalam jangka panjang.

Dalam jangka pendek, terlalu banyak positivitas, terutama segera setelah sebuah krisis, bisa  membuat kita merasa bahwa memiliki emosi negatif, misalnya kesedihan, ketakutan, kecemasan, kemarahan, atau kecemburuan, merupakan kegagalan atau kelemahan, padahal sebenarnya itu adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman manusia.

Pelatih dan penulis Neuro-Linguistic Programming (Pemrograman Neurolinguistik), Rebecca Lockwood (rebeccalockwood.org.uk), yang membantu para kliennya mengubah pola pikir dan perilaku untuk mencapai tujuan mereka, menjelaskan bagaimana hal ini bisa terwujud: "Jika Anda menemukan diri Anda sedang mencoba untuk menghilangkan emosi-emosi Anda, itu bisa menjadi tanda bahwa positivitas di sekitar Anda telah berlebihan."

Indikasi lainnya adalah jika Anda merasa bersalah karena merasa negatif atau sedih tentang sesuatu karena Anda tidak bisa "melihat sisi baiknya," Anda mungkin mencoba mulai menyembunyikan perasaan Anda dari orang-orang di sekitar Anda jika mereka berulang kali membuat perasaan Anda menjadi tidak sahih dengan mengingatkan Anda bahwa "bisa lebih buruk dari itu."

Sama halnya, Anda sendiri mungkin seorang positivis toksik. Apakah seseorang kehilangan pekerjaan atau dompetnya, atau mungkin hanya ketinggalan pesawat atau promosi, kata-kata hampa seperti "teruslah tersenyum" atau "dunia belum kimat" mungkin tidak dianggap sebagai komentar simpatik atau meyakinkan seperti yang Anda maksudkan.

Itu benar-benar bisa dimengerti, karena penggunaan ungkapan-ungkapan itu melindungi keadaan bahagia kita sendiri, dengan menghindari kebutuhan untuk berempati, kita menghindari keharusan merasakan emosi negatif itu sendiri. Tetapi komentar-komentar tersebut  menyiratkan bahwa kebahagiaan adalah pilihan, dan orang-orang tersebut mungkin merasa seolah-olah mereka disalahkan atas penderitaan mereka sendiri, seolah-olah pola pikir merekalah yang memperpanjang penderitaan mereka.

Jadilah Cermin Bukan Dinding
Untuk menilai kembali reaksi naluriah Anda ketika seorang teman mendekati Anda untuk meminta dukungan atau berbagi kabar buruk, pertama-tama pertimbangkan kronologi kejadiannya. Jika emosi teman Anda masih baru, positivitas tidak mungkin beresonansi dan mungkin lebih berbahaya ketimbang berdampak baik.

Alih-alih, tanyakan bagaimana perasaan teman Anda, dengarkan dengan penuh perhatian dan berempati dengannya dengan berbagi pengalaman atau perasaan serupa yang Anda miliki. Ini akan meyakinkan dia bahwa apa yang dia rasakan adalah normal dan bahkan mungkin memberinya harapan yang nyata, bukan dangkal. Kemudian, setelah lewat beberapa lama dan situasinya membaik, mungkin baru lebih cocok untuk membagikan sentimen-sentimen yang positif.

Jika Anda sendiri yang menerima terlalu banyak positivitas dari teman Anda, penting untuk diingat bahwa teman tersebut tidak bermaksud mengabaikan perasaan Anda. Kemungkinan besar dia mencoba yang terbaik untuk membantu tetapi tidak tahu harus berkata apa lagi. Cara terbaik yang bisa Anda lakukan untuk merespons adalah dengan menjelaskan bahwa Anda menghargai perasaan dia. Ini bisa mencegah percakapan ditutup secara tiba-tiba di masa mendatang.

Jika Anda merasa sudah mulai mengubur emosi-emosi negatif Anda sendiri dengan afirmasi positif, buatlah jurnal. Mulailah dengan menuliskan apa yang bisa Anda lihat di sekitar Anda, lalu apa yang bisa Anda dengar dan akhirnya apa yang Anda rasakan. Ini akan sangat membantu Anda untuk memahami apa yang terjadi pada saat itu alih-alih mengabaikan dan tidak menghadapinya.

Rollercoaster Menuju Ketahanan
Kabar baiknya adalah positivitas dan negativitas tidak saling eksklusif. Seperti banyak hal lain, sebuah keseimbangan bisa dicapai. Dalam hal ini, itu mungkin berarti merasa kesal saat ini sambil melihat ke depan menuju waktu yang lebih baik, yang tidak terlalu lama dari sekarang.

Manfaat menemukan "titik manis" ini, dan mampu benar-benar duduk dengan emosi-emosi kita, adalah kita menjadi lebih mampu menghadapi situasi serupa di masa depan, dengan kata lain, kita menjadi lebih tangguh. Tentunya itu kebahagiaan jangka panjang ketimbang menuntut agar kita mempertahankan positivitas 24/7. Kita harus beraspirasi untuk bisa  mengatasi rollercoaster kehidupan dengan cara yang semakin baik, dan membantu orang lain mengatasi pasang surut mereka dengan lebih memahami dan membuka diri tentang kita.

"Ironi untuk mengakhiri dengan sebuah kutipan inspirasional tidak menghilang dari saya, tetapi itu adalah sesuatu yang baik," kata penulis David Levithan: "Jangan hanya mencari kebahagiaan untuk diri sendiri. Carilah kebahagiaan untuk semua orang."

Ilustrasi. Sumber: Planet Mindful, September- October 2021, hlm. 30-31.
Ilustrasi. Sumber: Planet Mindful, September- October 2021, hlm. 30-31.
3 Alasan Terlalu Positif Bisa Menjadi Hal yang Buruk
1. Mencegah Pengalaman Dibagikan

Jika kita hanya menanggapi kekhawatiran teman kita dengan positif, kita tidak akan mengetahui apa yang menyebabkan krisis dia, yang tidak hanya berdampak buruk bagi dia secara pribadi tetapi juga secara sosial.

2. Menghambat Interaksi Antar-Manusia yang Autentik
Orang yang mengalami masa sulit tidak hanya membutuhkan seseorang untuk diajak bicara, dia membutuhkan seseorang untuk mendengarkan. Proses ini, jika tulus, bisa memperkuat hubungan dan menciptakan koneksi yang autentik. Positivitas toksik memblokir saluran koneksi ini.

3. Menghentikan Kita Membangun Ketahanan
Jika kita tidak bisa memahami dan bergerak melalui emosi ketika emosi itu muncul, kita mungkin akan merasa lebih sulit untuk menghadapi perasaan yang sama di kemudian hari.
Positivitas toksik menghambat pengembangan mekanisme penanganan masalah lainnya yang berharga.

Kepustakaan
1. Rowe, Jenny, When Positivity Turns Toxic, Planet Mindful, September- October 2021, hlm. 28-31.
2. Diary Johan Japardi.
3. Berbagai sumber daring.

Jonggol, 19 September 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun