Manfaat menemukan "titik manis" ini, dan mampu benar-benar duduk dengan emosi-emosi kita, adalah kita menjadi lebih mampu menghadapi situasi serupa di masa depan, dengan kata lain, kita menjadi lebih tangguh. Tentunya itu kebahagiaan jangka panjang ketimbang menuntut agar kita mempertahankan positivitas 24/7. Kita harus beraspirasi untuk bisa  mengatasi rollercoaster kehidupan dengan cara yang semakin baik, dan membantu orang lain mengatasi pasang surut mereka dengan lebih memahami dan membuka diri tentang kita.
"Ironi untuk mengakhiri dengan sebuah kutipan inspirasional tidak menghilang dari saya, tetapi itu adalah sesuatu yang baik," kata penulis David Levithan: "Jangan hanya mencari kebahagiaan untuk diri sendiri. Carilah kebahagiaan untuk semua orang."
1. Mencegah Pengalaman Dibagikan
Jika kita hanya menanggapi kekhawatiran teman kita dengan positif, kita tidak akan mengetahui apa yang menyebabkan krisis dia, yang tidak hanya berdampak buruk bagi dia secara pribadi tetapi juga secara sosial.
2. Menghambat Interaksi Antar-Manusia yang Autentik
Orang yang mengalami masa sulit tidak hanya membutuhkan seseorang untuk diajak bicara, dia membutuhkan seseorang untuk mendengarkan. Proses ini, jika tulus, bisa memperkuat hubungan dan menciptakan koneksi yang autentik. Positivitas toksik memblokir saluran koneksi ini.
3. Menghentikan Kita Membangun Ketahanan
Jika kita tidak bisa memahami dan bergerak melalui emosi ketika emosi itu muncul, kita mungkin akan merasa lebih sulit untuk menghadapi perasaan yang sama di kemudian hari.
Positivitas toksik menghambat pengembangan mekanisme penanganan masalah lainnya yang berharga.
Kepustakaan
1. Rowe, Jenny, When Positivity Turns Toxic, Planet Mindful, September- October 2021, hlm. 28-31.
2. Diary Johan Japardi.
3. Berbagai sumber daring.
Jonggol, 19 September 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H