Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bebaskan Diri dari Perundungan, Singkirkan Kebencian

7 September 2021   03:14 Diperbarui: 7 September 2021   03:44 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perundungan adalah sebuah emosi yang disalurkan untuk secara sengaja menyakiti orang lain, entah secara fisik, verbal, atau psikologis. Internet menuangkan bahan bakar yang mengobarkan perundungan siber (cyberbullying) tanpa harus bertatap muka dan hanya semudah menggerakkan jari-jari tangan untuk mengetikkan konten berisi perundungan itu dan... berpotensi menjadi viral.

Ini kurang lebih serupa dengan penyebaran hoaks, mulut dan/atau jari-jari tangan bekerja tanpa diiringi dengan pemikiran yang lebih arif dan tanpa menghiraukan segala konsekuensi yang bisa ditimbulkan.

Perundungan bukan hanya dilakukan oleh orang yang lebih berkuasa, misalnya bos atau atasan toksik di kantor, tetapi juga oleh para teman maupun bawahan dengan kemasan yang berbeda. Kesamaannya adalah moralitas tidak lagi dijadikan pertimbangan, bandingkan dengan artikel saya: Moralitas? Bisa Ditawar-tawar atau Tidak?

Lihat saja perilaku orang yang kebablasan dalam, antara lain, artikel saya: Semakin Bablasnya si Meriam Lepas. Perundungan oleh orang gelap mata ini bahkan sudah tidak menghiraukan siapa yang menjadi korbannya, dan bahkan perundungannya sudah merupakan penistaan yang sangat tidak senonoh.

Dalam beberapa artikel saya tentang lingkungan kerja toksik, saya sudah membicarakan bagaimana menghadapi manusia toksik, bahkan seorang bos sekali pun, dengan membekali diri dengan JJC (Jujur, Jelas, Cepat) berlandaskan kompetensi, kejujuran dan menghargai sesama manusia: Mencapai Target Hidup: JJC Prasyaratnya.

Mengapa Orang Merundung?
Kita tidak usah membahas sampai sejauh perundungan fisik, perundungan verbal dan psikologis saja sudah bisa sangat menyakitkan korbannya.

Orang Medan punya ungkapan yang menunjukkan daya tahan yang sangat besar terhadap "sakit," tetapi ada yang lebih tidak tertahankan:
"Sakitnya tak seberapa, malunya ini........"

Orang yang merundung bisa dijabarkan menjadi 3 tipe:
1. Lebih berkuasa dan tidak bijak menghargai orang lain, apalagi bawahan.
2. Sesama teman.
3. Bawahan.

Dalam artikel ini saya akan mengulas tentang perundungan yang dilakukan oleh teman.

Akar munculnya perundungan oleh seseorang adalah kekosongan batin yang lalu dibandingkan dengan orang lain yang "pula lebih banyak" yang membuat si perundung merasa harus melakukan perimbangan dengan menjatuhkan si korban ke titik yang serendah-rendahnya atau semalu mungkin.

Saya tidak tahu jelas apakah si perundung berpikir dua kali sebelum memposting rundungan itu. Yang pasti, dia merasa si korban tidak akan sakit hati atau setidaknya tersinggung karena dia tidak pernah memikirkan bagaimana kalau dia yang diperlakukan demikian. Rundungan itu biasanya dikemas sedemikian rupa, dan lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan.

Contoh:
1. Di salah satu media sosial, saya pernah memposting tentang kedua puteri saya ketika pertama kalinya mencoba sushi dan sashimi.

Komentar yang masuk semuanya wajar-wajar saja, dan malah menjadi bahan diskusi yang menarik ketika saya memberi tanggapan atas sebuah komentar, bahwa karena pertama kali, kedua puteri saya belum bisa benar-benar menikmati kuliner Jepang itu, tapi saya tahu jalan keluarnya. 

Yang menyebabkan mereka kurang suka sushi dan sashimi adalah karena mereka belum terbiasa dengan kecapnya, yang lalu saya akali dengan menambahkan gula dan jus lemon.

Keceriaan diskusi itu tiba-tiba buyar dengan masuknya sebuah komentar sinis: "Bapaknya yang suka."

Cuma 3 kata tapi merusak total suasana.

Saya jadi tertanya-tanya, apakah si perundung ini peduli dengan orang-orang lain yang membaca komentarnya itu?

Setelah melakukan anilisis singkat dan sampai pada kesimpulan bahwa semua komentar "teman" ini tidak ada yang tidak sinis, saya pun meng-unfriend dan memblokir dia, selesai.

Dalam hidup, jangan sampai kita memiliki musuh 1 orang pun, namun teman yang perilakunya adalah musuh juga bukan teman.

2. Postingan saya yang lain adalah ketika putri saya mencoba membuat kue bolu untuk pertama kalinya, dengan melampirkan sebuah foto yang menunjukkan keberhasilannya.

Pada komentar ke sekian, masuklah:
"Berhasil ya?"

Saya sedikit kesal dan menjawab: "Silahkan lihat fotonya."

Yang disusul lagi dengan:
"Kursus ya?"

Yang saya jawab:
"Nggak, apa perlu?"

Lalu masuk lagi:
"Oh ya kalau sudah pintar nggak perlu kursus."

Kok saya jadi masuk dalam pusaran obrolan yang tak bermanfaat?

Demikianlah, "teman" yang satu ini juga saya singkirkan seperti pada #1.

Tantangan bagi kita sebagai orangtua adalah bagaimana mengkomunikasikan cara berinteraksi dengan teman-teman mereka atas dasar persamaan hak, jangan sampai mereka menjadi perundung, apalagi korban perundungan.

Jonggol, 7 September 2021

Johan Japardi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun