Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

WSP: Membantu Sekaligus Mempermalukan

6 September 2021   20:20 Diperbarui: 6 September 2021   23:37 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naluri seorang pengamat membuat saya tidak berhenti hanya sampai penayangan artikel tentang Lik Telek: Go International: Lik Telek dari Indonesia yang dengan jelas menunjukkan teknik mempermalukan (shaming technique) dengan memberi label orang dengan obesitas: "malas", orang dengan penyakit mental: "gila," dan karena kurangnya sanitasi (Lik Telek): "menjijikkan."

Ini zaman apa?
Kenapa orang-orang tertentu belum menyadari bahwa semua manusia itu memiliki hak azasi yang sama?
Kenapa mereka masih belum meninggalkan praktik-praktik kolonialisme di tengah belum terkikis sepenuhnya mentalitas taklukan (subservient mentality) segelintir orang yang bahkan tidak langsung mengalami praktik-praktik itu?

Mentalitas seperti ini bahkan meninggalkan bekas dalam transkripsi dialek Hokkien, yang belum diperbaharui sampai sekarang dan masih menggunakan sistem yang disesuaikan dengan telinga orang Inggris dan menimbulkan segudang kerancuan sekarang ini, lihat artikel saya: Kunci Transkripsi Dialek Hokkien Dipegang oleh... Bahasa Indonesia.

Penggalian informasi saya tentang Lik Telek (dari nama ini saja saya sudah merasa tidak nyaman) membawa saya ke proyek sanitasi di Jawa Timur di tengah semangat desentralisasi dan partisipasi dalam konteks pascareformasi, dan menemukan penggunaan teknik mempermalukan untuk mempromosikan sanitasi yang lebih baik dan untuk mengakhiri buang air besar sembarangan.

Program untuk mempromosikan sanitasi telah ada sejak zaman kolonial. Teknik menimbulkan rasa malu di kalangan masyarakat tentang buang air besar sembarangan pada 1999 berkembang dari pendekatan mobilisasi sosial ke pengembangan masyarakat yang diberi nama Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (Community-Led Total Sanitation/CLTS) yang dilakukan di Bangladesh oleh Kamal Kar, bekerja dengan LSM lokal dan internasional.

CLTS sekarang menjadi pendekatan yang luas dan umum digunakan dalam sanitasi pedesaan dan pinggiran kota dan dipromosikan sebagai cara untuk membantu pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goal/MDG) dalam bidang sanitasi, yang kemajuannya lambat.

Teknik ini awalnya dipromosikan oleh LSM dan beberapa pemerintah negara berkembang telah mengadopsinya, dan kemudian penyebarannya menjadi lebih cepat terutama karena dukungan dari donor utama, khususnya Bank Dunia.

CLTS adalah teknik kunci dalam komponen sanitasi dari Program Air dan Sanitasi (Water and Sanitation Programme/WSP) yang didanai oleh banyak donor dan dipimpin oleh Bank Dunia, yang beroperasi di 25 negara.  

Di Indonesia, WSP telah memproduksi materi pemasaran sosialnya sendiri yang dibintangi oleh seorang tokoh bernama Lik Telek, yang secara kasar diterjemahkan sebagai "Paman Tahi."

Lik Telek seorang yang miskin, cacat fisik, kotor dan "menjijikkan" dan sangat mirip dengan karakter bernama Kromo dalam salah sebuah film yang diproduksi oleh program Rockefeller di Indonesia, meskipun keadaan Kromo tidak separah Lik Telek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun