Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Para Pahlawan Epidemiologi Tanpa Tanda Jasa

2 September 2021   14:24 Diperbarui: 2 September 2021   14:30 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para binatu sering tidak tertulari wabah setelah menangani linen kotor. Sumber: Science, Vol. 373, Issue 6558, 27 August 2021, hlm. 972.

Ketika menelusuri halaman demi halaman majalah Science, Vol. 373, Issue 6558, 27 August 2021, untuk mencari artikel mana lagi tentang kesehatan yang bisa saya ramu dengan komplemen dari konten diary saya dan sumber daring, pandangan mata saya terhenti sejenak pada artikel The unsung Players of Epidemiology yang merupakan sebuah tinjauan ulang sejarah oleh Suman Seth, dari Departemen Kajian Sains dan Teknologi, Universitas Cornell, Ithaca, NY 14853, AS. Email: ss536@cornell.edu

Seth memberi subjudul artikelnya: Sebuah Sejarah Baru Menyelidiki Kontribusi yang Sering Diabaikan dalam Studi Penyakit Penginfeksi.

Kita belajar dari sejarah bahwa kontribusi orang-orang tertentu kadang-kadang:
1. Tidak menerima penghargaan yang layak, bahkan dianggap tidak pernah eksis dan akhirnya hilang dari memori publik.
2. Diberi penghargaan yang eksesif tanpa rasa malu.

Kedua hal di atas jelas-jelas menunjukkan sebuah pencatatan sejarah yang ngawur alias tidak berdasarkan kebenaran (ex veritate). Yang mana pun cara yang ditempuh dari kedua cara ini, becik ketitik ala ketara, kebohongan tidak bisa ditutupi selamanya.

Jadi kita bisa mengatakan bahwa artikel Seth ini termasuk pembongkar kebohongan sejarah itu.

***

Ketika kapal Inggris Eclair tiba di Boa Vista, sebuah pulau di lepas pantai Afrika Barat, pada Agustus 1845, demam melanda awaknya. Seorang ahli bedah lokal menyatakan bahwa penyakit itu tidak menular, dan pihak berwenang mengizinkan para pelaut yang sakit untuk ditempatkan di sebuah pulau terdekat.

Eclair meninggalkan pulau itu setelah 3 minggu, demam masih melanda awak kapal. Dalam beberapa hari, para prajurit yang menjaga awak kapal pun mulai jatuh sakit.

Manoel Antonio Alves, tentara lokal lainnya, yang digambarkan dalam catatan sebagai "neg** (berkulit hitam)" diperintahkan untuk mengambil jenazah mereka yang meninggal.

Kira-kira 6 bulan kemudian, Alves dan tentara lainnya menceritakan pengalaman mereka kepada ahli bedah angkatan laut Inggris James McWilliam, yang membuat Laporan tentang Demam di Boa Vista yang kemudian diterbitkan pada 1847.

Dalam banyak sejarah medis, nama McWilliam menjadi satu-satunya yang dirujuk dalam analisis wabah ini. Namun, dalam catatan Jim Downs mengenai akar epidemiologi modern, Alves dan orang-orang seperti dia, para prajurit dan juga tukang cuci, petugas rumah sakit, budak, peziarah Muslim, dan lainnya, yang menjadi pusat perhatian.

"Banyak praktik epidemiologi modern yang sebagian dikembangkan dari pengamatan, pengobatan, dan pencegahan penyakit di antara populasi tawanan yang dihasilkan oleh kolonialisme, perbudakan, dan perang," tulis Downs.

Kata Seth: "Bagi kita yang waspada terhadap epidemi di masa depan, buku ini menarik perhatian kita pada hal-hal yang sering dilupakan oleh kepustakaan ilmu kedokteran."

Kajian formal epidemi setidaknya bisa ditelusuri sampai ke Hippocrates, dan dengan demikian, tanggal-tanggal yang membatasi kajian Downs, dari 1756, tahun yang menyebutkan tentang insiden penjara Lubang Hitam Calcutta, hingga 1866, tahun berakhirnya wabah besar kolera yang ketiga kalinya di Amerika Serikat, terasa agak sewenang-wenang.

Konon, sel penjara yang penuh sesak di dalam mana 123 dari 146 tentara Inggris tewas akibat cuaca panas India pada 1756 adalah contoh yang sangat baik dari jenis peristiwa yang memunculkan pengetahuan abad ke-18 tentang nilai ventilasi yang memadai.

Dalam bab 2, buku Downs beralih ke Malta pada 1830-an, di mana fakta bahwa para binatu sering tidak tertulari wabah setelah menangani linen kotor digunakan untuk membantah perlunya karantina.

Bab tengah yang substansial mencontohkan kasus untuk melihat Florence Nightingale sebagai "ahli epidemiologi yang tidak dikenal."

Selama ini, karena kontribusi Nightingale secara statistik medis dikenal baik oleh para sejarawan, klaim ini tampaknya dimaksudkan untuk mengoreksi kesalahpahaman populer alih-alih kesalahpahaman para cendekiawan.

Pengaruh Nightingale dan para pereformasi sanitarian lainnya bisa dilihat dengan jelas dalam pendirian Komisi Sanitari Amerika Serikat (United States Sanitary Commission).

Bab Downs tentang komisi itu menekankan logika rasialis yang dibawa oleh kelompok itu ke pekerjaan epidemiologisnya, dengan penegasan yang gigih pada perbedaan kerentanan dan imunitas terhadap penyakit di antara pasukan berkulit putih dan pasukan berkulit hitam.

Agak aneh, ini kontras dengan sikap Inggris, yang digambarkan lebih peduli dengan penyebab lingkungan ketimbang perbedaan ras.

Akan tetapi, oposisi ini adalah buatan: Sanitarian percaya bahwa banyak penyakit yang disebabkan oleh kondisi eksternal, namun kondisi tersebut juga memiliki efek yang berbeda pada tubuh yang bervariasi menurut jenis kelamin, ras, kelas, atau usia.

Ras adalah kategori utama analisis dalam 4 laporan besar statistik yang sangat berpengaruh (yang diterbitkan antara 1838 dan 1841) tentang kesehatan para pasukan di seluruh Kerajaan Inggris, dan statistik rasial digunakan untuk membenarkan penarikan pasukan berkulit putih dari lokasi berbahaya di Hindia Barat dan Afrika Barat dan menggantikan mereka dengan tentara keturunan Afrika.

Alih-alih menjadi orang luar, AS adalah bagian dari sebuah tren yang jauh lebih luas pada masa menuju rasialisasi dalam banyak bidang, termasuk kedokteran.

Lebih meyakinkan adalah bab tentang vaksinasi cacar selama Perang Saudara AS. Kehabisan meterial untuk melindungi pasukan mereka, tentara Konfederasi berusaha untuk menghasilkan persediaan mereka sendiri dengan memanen getah bening dari luka yang divaksinasi.

Menolak tubuh tentara yang lelah sebagai sumber getah bening itu, para dokter malah beralih ke anak-anak yang diperbudak, yang kemungkinan besar digunakan sebagai sumber utama vaksin penting dalam Perang Saudara di Selatan.

Di sini kita melihat tesis Downs dalam bentuknya yang paling mencolok, dengan tubuh  paling rentan yang digunakan untuk menghindari epidemi di antara mereka yang lebih berkuasa.

Para sejarawan kedokteran, ras, dan kolonialisme akan mempermasalahkan beberapa klaim yang dibuat dalam bab-bab Downs.

Namun, keseluruhan tesisnya penting, dan buku ini layak untuk dibaca, terutama sekarang. Hanya sedikit yang akan mempertanyakan kekuatan penyelamatan yang kemungkinan akan dimiliki epidemiologi di tahun-tahun mendatang. Namun, kita mau tak mau harus mengingat kontribusi dari mereka yang telah menjadi andalan pengetahuan kita.

Kepustakaan
1. Seth, Suman, The Unsung Players of Epidemiology, Science, Vol. 373, Issue 6558, 27 August 2021, hlm. 972.
2. Diary Johan Japardi.
3. Berbagai sumber daring.

Jonggol, 2 September 2021

Johan Japardi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun