Eksistensi timbunan batu sungai menjadi benda alam tambahan yang menggambarkan atmosfer mistis itu, yang disertai pula oleh ilalang tinggi yang seakan menyamai ganasnya badai, padahal gerak ilalang itu hanya lemah gemulai.
Ilalang boleh lemah gemulai, namun tingginya yang disepertikan dengan badai itu menyandang percepatan.
Debu kelabu di ambang sore pun tidak kalah mistis, bergerak ke sana ke mari, membawa dan menyebarkan bau sore.
Bait 2:
hulu sepi muara mati
desa sunyi penghuni
merantau menggali
makamnya sendiri
Di balik benda-benda mati atau seakan mati tapi tiba-tiba hidup dan penuh gerak pada bait 1, bait 2 menyajikan atmosfer mistis berupa diam. Mana yang lebih mistis, tergantung dari cara kita masing-masing dalam menilai.
Hulu yang sepi dan muara yang mati karena rutinitas yang mengambil kedua tempat ini telah terhenti. Desa sunyi penghuni, dan sisa penghuninya berdiam diri di dalam rumah masing-masing.
Gerak merantau menjadi diam, bertransformasi menjadi "menggali," Â satu-satunya gerak yang tergambarkan dalam bait 2 ini, dan yang digali adalah perwujudan diam yang abadi, makam sendiri, yang pada waktunya menjadi teman-teman dari ambang sore, batu sungai, ilalang, dan debu kelabu.
Apakah makam itu akan diam namun bergerak belum tergambarkan karena belum digali atau belum selesai digali, dan tidak ada uraian tentang bagaimana makam-makam yang sudah ada sebelumnya di desa itu.
Bait 3:
andai pintu jendela
tertutup semuanya
dari lobang mimpi
mengintipnya
Bait ini jauh lebih sulit untuk dimaknai. Dalam mengatasi masalah berupa pintu jendela yang tertutup semuanya, pertanyaan besar dalam benak saya:
1. Apakah lobang mimpi itu juga semacam deja vu (mundur melalui lini masa)? atau
2. Mimpi itu belum terjadi atau akan terjadi (maju melalui lini masa?). Kata "andai" yang mengawali pintu jendela secara eksplisit menyebutkan sesuatu yang belum terjadi.
Hanya si pemuisi sendiri yang memiliki jawabannya, dan beliau adalah pak Bams (Bambang Syairuddin), rekanda Kompasianer, seseorang yang menurut pengamatan saya adalah fisikawan yang berpuisi untuk melengkapi kegiatan hariannya, hidup dan mencari nafkah sebagai Pendidik di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya.
Berlatar pendidikan Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, dan Asian Institute of Technology (AIT), Bangkok, dan sekarang menghayati aspek sajak dan puisi dari karya cantik jiwa bijak seorang sahabat senior literasi, tak lain dan tak bukan adalah pak OK sendiri, lihat artikel saya: Diskusi Omong Kosong yang OK.