Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menganalisis Deja vu dengan Rasa

31 Agustus 2021   02:22 Diperbarui: 31 Agustus 2021   02:38 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Deja vu berasal dari bahasa Perancis yang bermakna perasaan seseorang bahwa pada masa sebelumnya dia telah hidup, dia mundur dalam lini masa melampaui masa sekarang.

Frasa Prancis ini diterjemahkan secara harfiah menjadi "sudah terlihat"  dan bisa juga ditafsirkan dalam konteks paranormal, namun pendekatan ilmiah mainstream menolak penjelasan deja vu sebagai "prekognisi" atau "nubuat" dan lebih menerima deja vu sebagai sebuah anomali memori, dimana, terlepas dari rasa ingatan yang kuat, namun waktu, tempat, dan konteks praktis dari pengalaman "sebelumnya" itu tidak pasti atau diyakini tidak mungkin.

Menurut saya, mainstream yang dimaksudkan dalam kalimat di atas tentunya adalah "mainstream Barat."

Di satu sisi, mereka menunjukkan ketidakyakinan akan "mistik," dan di sisi lain, dengan pendekatan ilmiah yang terlihat sangat tidak memadai, mereka mencoba untuk meneliti dan memahami fenomena paranormal, misalnya dalam sekuel-sekuel film The Conjuring.

Lin Yutang pernah menuliskan bahwa semakin seorang ahli fisiologi mencoba untuk menganalisis dan mempelajari proses biofisika dan biokimia dari fisiologi manusia, semakin banyak hal yang membuatnya terheran-heran. Keheranan itu sedemikian rupa sampai-sampai terkadang memaksa seorang ahli fisiologi yang berpikiran lebih terbuka untuk menerima pandangan hidup mistik, misalnya Dr. Alexis Carrel.

Tak mengherankan jika sampai sekarang ini sudah semakin banyak fisikawan Barat yang merambah ke penelitian mistik, karena mereka menyadari bahwa tatkala mencapai kedalaman tertentu, sains pun mulai bersinggungan dengan mistik itu.

Kali ini saya mau mengajak para pembaca untuk memaknai deja vu tidak dalam konteks paranormal, tidak pula dalam konteks ilmiah, tapi dengan menggunakan rasa.

Ini serupa dengan pendekatan yang dilakukan oleh kita orang Timur yang memberitahu  bahwa rasa gula itu manis setelah kita mencicipinya, sedangkan orang Barat melakukan penelitian panjang lebar dan melelahkan di laboratorium mereka yang dilengkapi peralatan yang supercanggih, hanya untuk memberitahu kita kesimpulan yang sama: rasa gula itu manis.

Sebagai bahan kajian, kita ambil sebuah puisi berikut (frasa deja vu disambung menjadi 1 kata, tidak masalah):
Nano Puisi: Dejavu di Ambang Sore

Bait 1:
dejavu di ambang sore
timbunan batu sungai
ilalang setinggi badai
debu kelabu bau sore

Ambang sore (senja) diselimuti oleh atmosfer mistis, dan sebagian orangtua biasa  mengingatkan anak-anak agar tidak keluyuran pada waktu ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun