Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Diskusi Omong Kosong yang OK

29 Agustus 2021   18:45 Diperbarui: 29 Agustus 2021   19:52 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tadi pagi, karena bermaksud menceritakan sesuatu, saya menanyakan kepada seorang rekanda Kompasianer apakah saya bisa menelepon sebentar. Beliau langsung mengiyakan dan kami berakhir dengan "cukup lama" berbicara via panggilan WA di tengah kegiatan beliau yang sibuk walau di hari Minggu! Apa kejadian?

Seseorang yang pintar dengan mudahnya berlagak bodoh, namun....
bagaimana seseorang yang bodoh hendak berlagak pintar???

Catatan:
Kalimat di atas hanya demi agar bisa dituliskan:

1. Tidak ada orang bodoh, yang ada orang yang belum tahu, bdk. dengan ucapan almarhum kakek saya, Mr. Yap Chenghuat:
"Di dunia ini tidak ada orang yang bodoh, yang ada adalah orang yang belum tahu. Jika bagian atas sebuah parang (golok) kita asah, maka parang itu bisa berubah menjadi sebuah pedang. Jadi teruslah belajar supaya semakin tahu."  
lihat artikel saya: Kebelumtahuan yang Dipamer-pamerkan.

Dua karakteristik yang kontradiktif satu sama lain hanya terlihat ketika kita membuat komparasi.

2. Setiap orang benar dan melakukan apa yang dianggapnya terbaik di bawah kondisi pribadi dia, lihat artikel saya:
Biarkanlah Kata "Salah" Hanya di dalam Kamus: Mengapa Ayam Menyeberangi Jalan? Versi 1.1

Semua manusia adalah baik, kecuali jika terbukti sebaliknya (immoral), dan:
Orang jahat akan terkucilkan dari lingkungan orang baik, dan orang baik akan mengucilkan diri dari lingkungan orang jahat.

Alasan bisa terjadinya percakapan kami selama 2 jam 29 menit 49 detik di atas, terlepas dari kenyataan bahwa kami baru belum berapa lama saling mengenal, itu pun belum pernah kopdar, adalah karena kompatibilitas moral kami sebagai sesama Kompasianer. Masih jauh lebih banyak faktor lain berupa perbedaan, namun semua itu tidak relevan.

Terlalu luas untuk saya ungkapkan lewat sebuah artikel yang ruangnya sangat terbatas, rincian dari apa yang kami percakapkan, dan di sini saya sampaikan sari dari sarinya, dengan perspektif transendensi Daoisme yang juga merupakan sebagian dari ungkapan kala kami berinteraksi:

Kearifan terbesar tampak seperti kebodohan,
kefasihan terbesar seperti tergagap-gagap.
Gerak mengatasi dingin,
tapi diam mengatasi panas.
Jadi seseorang dengan ketenangan yang jernih,
menempatkan segala suatu persis di bawah langit.

Selanjutnya, jika kita paham bahwa di jalan alam tidak ada orang yang memiliki keunggulan permanen atas orang lain dan tidak ada juga orang yang bodoh sepanjang masa (lihat uraian di atas), maka secara alami kita berkesimpulan bahwa tidak ada gunanya perdebatan, apalagi debat kusir.  Seseorang bisa saja memenangi semua perdebatan, tetapi kehilangan semakin banyak teman.

Orang arif tidak ngotot untuk menang, dan karena itulah tidak ada seorang pun di bawah langit yang ngotot membiarkan dia tidak menang.

Laozi pernah berujar, "Tunjukkan padaku seorang pelaku kekerasan yang berakhir dengan baik, dan aku akan menjadikan dia sebagai guruku. Ketika Dao tidak menang, kuda dilatih untuk berperang, namun ketika Dao menang, kuda dilatih untuk menarik gerobak kotoran."

Kusir terbaik tidak terburu-buru,
pejuang terbaik tidak menunjukkan kemarahan.
Penakluk terbesar menang tanpa menjadi bagian dari masalah,
orang terbaik yang bisa memetik kelebihan orang-orang lain bertindak seakan dia lebih inferior.
Inilah kekuatan yang datang dari tidak ngotot,
kapasitas belajar dari siapa pun.

Menelusuri jalan alam orang-orang kuno,
hukum sebab dan akibat melambungkan kekerasan ke kekerasan yang lebih tinggi.
Jalan alam bertujuan membantu penguasa manusia,
menentang semua penaklukan dengan kekuatan senjata.
Karena kekerasan hanya terulang dengan kekerasan,
dan tanpa kekerasan, di mana pun tentara berada, semak berduri pun tumbuh lebat.

Orang yang memenuhi tujuannya tanpa memuliakan apa yang telah dia lakukan,
memenuhi tujuannya tanpa membanggakan apa yang telah dia lakukan,
memenuhi tujuannya tanpa merasa bangga dengan apa yang telah dia lakukan,
memenuhi tujuannya hanya sebagai langkah yang tidak bisa dihindari,
memenuhi tujuannya, tanpa kekerasan,
menyadari bahwa masa kekuatan juga memiliki masa kehancuran.

Lalu siapakah Kompasianer yang menjadi teman bicara saya itu? Dialah si penggagas dan penulis gagasan Omong Kosong yang OK itu.

Saya sampai tertanya-tanya, selama kami ngobrol, berapa cangkir kopi yang diludeskan pak OK?

Jonggol, 29 Agustus 2021

Johan Japardi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun