Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Statistik Tidak Lebih Penting dari Perasaan Manusia dan Manfaat Artikel

22 Agustus 2021   12:38 Diperbarui: 22 Agustus 2021   12:43 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan idealisme di atas, saya tidak mau repot-repot memikirkan atau bahkan mengkhawatirkan semua bilangan yang hanya sekadar bilangan itu, karena tidak lebih penting dari manfaat yang telah dan akan saya berikan kepada para pembaca, dan menambahkan bilangan sahabat oleh karenanya.

Kolom komentar di artikel-artikel saya menjelma menjadi sekamin banyak ruang diskusi dari yang santai sampai serius, bukankah itu pencapaian? bukankah itu kebahagiaan yang tidak bisa kita ekuivalenkan dengan bilangan-bilangan?

Yang saya pikirkan justru sebuah harapan agar setiap artikel saya, yang anyar maupun lawas, tetap memiliki pembaca, walau dengan berlalunya waktu tambahan bilangannya pasti berubah karena berbagai faktor. Yang penting, kata pak Tjipta, manfaat itu sampai.

Sebagai seorang penulis, peranan saya ya menulis. Saya tidak mau membuat pengkotak-kotakan di antara sesama Kompasianer, TERKECUALI YANG TIDAK BERMORAL (jika ada)!

Di dalam pikiran, kita boleh-boleh saja mencap tulisan orang lain sebagai "sampah," tapi jangan sekali-kali menyampaikan pikiran itu kepada si penulis, dia juga rekan kita, jangan ganggu kenyamanan hidup yang menjadi hak dia, dan............... hei! Penulis SAMPAH membuat tulisan SAMPAH, namun banyak pembaca SAMPAH, mau apa hayo?

Sebagai orang yang bermartabat becik dan bertatakrama, sampah bukanlah kata yang pantas kita keluarkan, biarkanlah dia tetap bersemayam dalam pikiran.

Kalau kita tidak suka dengan sebuah tulisan, ya jangan dibuka, sesimpel itu!

Ada sebuah hal yang ingin saya sarankan kepada para rekanda, dan maaf, saya tidak mungkin menyebut 1 per 1 nama, bagaimana kalau artikel-artikel rekanda yang masuk dalam kategori yang sama, apalagi bersambung, dibuatkan perpustakaannya?

Begawan Tjipta dengan perpustakaan pengalaman hidup yang masih bisa dikategori lebih lanjut menurut temanya.
Pak Felix Tani dengan perpustakaan novel Poltak, hasil riset pertanian natural, dan nasi.
Bu Roselina Tjiptadinata dengan perpustakaan Menuai Apa yang Kami Tabur (sudah selesai), dan Merajut yang Tercecer (ongoing).
Pak Rudy Gunawan dengan perpustakaan numerologi, kamasilk (21 tahun ke atas) dll.
Pak Katedrarajawan dengan perpustakaan rujukan segala macam omongkosong
Pak Bambang Syairuddin, pak Ali Musri Syam, mbak Fatmi Sunarya, dan mbak Ari Budiyanti, dengan perpustakaan puisi.
Bu Suprihati dengan perpustakaan budaya dan tanaman.,
Bu Hennie Triana dengan perpustakaan tentang seluk beluk Jerman.
Bu Celestine dengan perpustakaan perspektif seorang hotelier.
Bu Monika Ekowati dengan perpustakaan Semburat Putih Pelangi Kasih, pengalaman traveling dll.
Pak Y. Edward Horas dengan perpustakaan cerpen.
Bang Steven Chaniago dengan perpustakaan analisis anime.

Apalagi? Dan lain-lain sebagainya, sangat luas untuk bisa saya tuliskan semuanya.

Jonggol, 22 Agustus 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun