Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Statistik Tidak Lebih Penting dari Perasaan Manusia dan Manfaat Artikel

22 Agustus 2021   12:38 Diperbarui: 22 Agustus 2021   12:43 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Statistik. Sumber: https://www.linkedin.com/pulse/why-statistics-important-aniruddha-deshmukh

Saya merenungkan, titik keberangkatan menulis artikel pertama saya dan seterusnya ternyata sama dengan begawan para Kompasianer, yaitu pak Tjiptadinata Effendi, lihat artikel saya: Begawan Tjiptadinata Effendi: Tidak Ada Kata "Pensiun" dalam Kamus Kami.

Titik keberangkatan itu mungkin tampak idealis, yaitu memberikan manfaat kepada sebanyak mungkin pembaca, yang saya pikir juga merupakan idealisme para rekanda Kompasiana (syarat dan ketentuan niat segelintir orang bisa berbeda, dan itu wajar-wajar saja).

Saya pribadi, setelah semakin banyak menulis, mendapat kilatan gagasan imajinatif untuk membuat perpustakaan digital atau e-library dan sejauh ini sudah merampungkan 1 perpustakaan, yaitu: e-Library Kompasiana: Tabel Periodik, dan segera akan disusul dengan perpustakaan ke-2 dalam bidang Fisika, khususnya Fisika untuk Hiburan, dan rencana saya adalah meneruskan dengan perpustakaan ke-3 dalam bidang Herbologi.

Pak Tjipta sendiri memberikan teladan dalam memegang erat idealisme ini, di tengah pergulatan bahkan yang menjurus ke sinisme, bahwa tidak mungkin orang tidak tergiur dengan segala macam label dan reward yang disediakan oleh Kompasiana.

Idealisme saya digambarkan dengan gamblang oleh rekanda pak Edward: Sebuah Artikel Apresiasi untuk Bapak Johan Japardi:
Mau disabet pilihan atau tidak oleh Admin, Beliau tetap menulis.

Di sini saya mau menyampaikan terimakasih atas harapan yang tulus dari pak Edward dan beberapa rekanda yang memberikan komentar atas artikel pak Edward itu.

Kembali ke idealisme yang saya katakan di atas:
1. Jika saya menulis dengan niat untuk memberikan manfaat berupa hasil olahan rasa saya yang dibentuk oleh pendidikan, pemikiran, pengalaman, dll, bukankah manfaat itu lebih penting ketimbang segala macam penghargaan? Bandingkan dengan artikel saya: Tim Berners-Lee, Dihargai atau Tidak, Terus Berkarya, dan Mengapa Tidak Ada Hadiah Nobel Matematika?

Dalam merealisasikan niat saya, segala macam biaya terkait tulis-menulis menjadi risiko dari kegiatan itu, dan saya tidak memikirkan untuk menutupi sebagian atau seluruh biaya itu dengan mengharapkan K-Rewards atau yang lain-lainnya. Saya juga bukan mencari nafkah dari Kompasiana, saya hanya meluangkan sebagian waktu saya untuk menulis, apalagi di tengah situasi pandemi yang sarat ketidakpastian.

2. Sampai saat ini, saya sudah dianugerahi kebahagiaan dengan hadirnya semakin banyak sahabat yang hebat-hebat dari kalangan rekanda Kompasianer, yang disebut mbak Fatmi sebagai berjalan bersama, bergandengan walau arah berbeda: Kita, Aksara, dan Puisi Abadiah.

3. Akhir bulan Agustus 2021 ini, genap 5 bulan saya menulis. Data statistik berupa total artikel yang sudah ditayangkan, rating, verifikasi biru dan/atau hijau, artikel pilihan editor, komentar konten, headline, registrasi, dan jumlah pageview konten, semuanya ada di profil kita masing-masing.

Dengan idealisme di atas, saya tidak mau repot-repot memikirkan atau bahkan mengkhawatirkan semua bilangan yang hanya sekadar bilangan itu, karena tidak lebih penting dari manfaat yang telah dan akan saya berikan kepada para pembaca, dan menambahkan bilangan sahabat oleh karenanya.

Kolom komentar di artikel-artikel saya menjelma menjadi sekamin banyak ruang diskusi dari yang santai sampai serius, bukankah itu pencapaian? bukankah itu kebahagiaan yang tidak bisa kita ekuivalenkan dengan bilangan-bilangan?

Yang saya pikirkan justru sebuah harapan agar setiap artikel saya, yang anyar maupun lawas, tetap memiliki pembaca, walau dengan berlalunya waktu tambahan bilangannya pasti berubah karena berbagai faktor. Yang penting, kata pak Tjipta, manfaat itu sampai.

Sebagai seorang penulis, peranan saya ya menulis. Saya tidak mau membuat pengkotak-kotakan di antara sesama Kompasianer, TERKECUALI YANG TIDAK BERMORAL (jika ada)!

Di dalam pikiran, kita boleh-boleh saja mencap tulisan orang lain sebagai "sampah," tapi jangan sekali-kali menyampaikan pikiran itu kepada si penulis, dia juga rekan kita, jangan ganggu kenyamanan hidup yang menjadi hak dia, dan............... hei! Penulis SAMPAH membuat tulisan SAMPAH, namun banyak pembaca SAMPAH, mau apa hayo?

Sebagai orang yang bermartabat becik dan bertatakrama, sampah bukanlah kata yang pantas kita keluarkan, biarkanlah dia tetap bersemayam dalam pikiran.

Kalau kita tidak suka dengan sebuah tulisan, ya jangan dibuka, sesimpel itu!

Ada sebuah hal yang ingin saya sarankan kepada para rekanda, dan maaf, saya tidak mungkin menyebut 1 per 1 nama, bagaimana kalau artikel-artikel rekanda yang masuk dalam kategori yang sama, apalagi bersambung, dibuatkan perpustakaannya?

Begawan Tjipta dengan perpustakaan pengalaman hidup yang masih bisa dikategori lebih lanjut menurut temanya.
Pak Felix Tani dengan perpustakaan novel Poltak, hasil riset pertanian natural, dan nasi.
Bu Roselina Tjiptadinata dengan perpustakaan Menuai Apa yang Kami Tabur (sudah selesai), dan Merajut yang Tercecer (ongoing).
Pak Rudy Gunawan dengan perpustakaan numerologi, kamasilk (21 tahun ke atas) dll.
Pak Katedrarajawan dengan perpustakaan rujukan segala macam omongkosong
Pak Bambang Syairuddin, pak Ali Musri Syam, mbak Fatmi Sunarya, dan mbak Ari Budiyanti, dengan perpustakaan puisi.
Bu Suprihati dengan perpustakaan budaya dan tanaman.,
Bu Hennie Triana dengan perpustakaan tentang seluk beluk Jerman.
Bu Celestine dengan perpustakaan perspektif seorang hotelier.
Bu Monika Ekowati dengan perpustakaan Semburat Putih Pelangi Kasih, pengalaman traveling dll.
Pak Y. Edward Horas dengan perpustakaan cerpen.
Bang Steven Chaniago dengan perpustakaan analisis anime.

Apalagi? Dan lain-lain sebagainya, sangat luas untuk bisa saya tuliskan semuanya.

Jonggol, 22 Agustus 2021

Johan Japardi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun