Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Selamattinggal" Hanya Sebuah Kata Lain

20 Agustus 2021   17:19 Diperbarui: 21 Agustus 2021   09:14 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Lobo pada 1973, Goodbye is Just Another Word. Kata "selamat tinggal" sengaja saya hilangkan spasinya menjadi "selamattinggal" agar, sama seperti bahasa Inggrisnya, "Goodbye," memenuhi kriteria untuk disebut sebagai sebuah kata.

Maksud saya menulis artikel ini bukan untuk menunjukkan ketiadaan sentimen (emosi yang meluap-luap*), simpati, maupun keharuan yang dirasakan oleh beberapa rekanda Kompasianer yang dititipi ucapan selamat tinggal oleh teman-teman seperjuangan, baik secara eksplisit maupun implisit, baik karena alasan sudah waktunya mereka pergi maupun karena keputusasaan yang sudah tak tertahankan, sama sekali tidak demikian!

*saya ganti "berlebihan" menjadi "meluap-luap" ini.

Tatkala saya membaca puisi mbak Fatmi Sunarya: Kita, Aksara, dan Puisi Abadiah, benar-benar segala sentimen, simpati, dan keharuan mbak Fatmi itu merasuki psyche saya seakan saya yang berada di posisi mbak Fatmi sendiri.

Mbak Fatmi juga merasakan ketidakberdayaan dan kesedihan yang mendalam karena harus terpisahkan dari teman-teman yang telah menempuh bersama sebuah perjalanan yang bertabur canda tawa, susah dan senang yang tergelar dalam sekian banyak puisi yang berserakan.

Namun, ketidakberdayaan dan kesedihan itu masih menyisakan setitik harapan, yang saya lihat sangat sulit terwujudkan karena teman-teman itu sudah bulat dengan keputusan mereka untuk pergi, meninggalkan kegelisahan yang mendera dan menderu, dalam sebuah legacy berupa sebuah akhir kisah dari begitu banyak goresan pena.

Harapan itu menjelma menjadi sebuah ajakan untuk terus berjalan bersama, bergandengan walau arah berbeda (di sini saya menangkap maksud untuk juga mencakup para penulis bukan puisi), dan tidak berhenti memungut aksara untuk dirangkai dengan indah.

Dengan sangat berat hati, harapan mbak Fatmi itu juga tertuang pada kalimat yang mengingatkan (saya sampaikan secara umum), bahwa jika kita pergi (meninggalkan kefanaan), legacy berupa karya hasil olah rasa kita masih (mudah-mudahan) bisa memberikan manfaat bagi para pembaca yang sudah tidak bisa lagi berinteraksi dengan penulisnya, dan karya itu pun menjadi karya yang abadiah.

Ini, sekali lagi, mengingatkan saya akan lagu yang dinyanyikan oleh Randy Travis pada 2002, Three Wooden Crosses:
Yang penting bukan apa yang kau bawa dari dunia ini ketika kau pergi, tapi apa yang kau tinggalkan (buat orang lain) ketika kau pergi.

Jika saatnya harus tiba.
Dan kau merasa perjalanan karya sudah harus berakhir.
Dan kau meninggalkan segala sesuatu dalam bentuk kenang-kenangan.

Jika kau pikir kapal telah datang menjemputmu.
Dan tak ada lagi yang bisa kau lakukan di sini.
Pergilah teman, itu jauh lebih baik.

Ketimbang kau harus memaksakan diri.
Untuk tetap peduli dengan kami semua.
Yang masih berada di daratan.

Sama seperti memaafkan.
Melupakan dan mencoba lagi.
Selamattinggal hanyalah sebuah kata lain.

Tulisan di atas saya olah dari berbagai sumber plus hasil pemikiran sendiri, tidak ada maksud untuk menyajikannya seperti puisi, karena saya bukan seorang pemuisi dan batin saya tergerakkan untuk memberikan tanggapan atas puisi mbak Fatmi di atas, sekaligus juga untuk artikel rekanda Kompasianer lain yang merasakan hal yang sama, saya juga ikut merasakannya.

Untuk rekanda yang masih memilih untuk bertahan dengan segala macam pilihan dan alasan yang masih tersisa, marilah terus mengolah rasa menjadi karya dan manfaat, sampai kapal kita masing-masing datang untuk menjemput kita.

Karya-karya kita masih bisa digunakan sebagai bahan untuk mengedukasi banyak orang, bahkan menyemangati mereka untuk memilih menjadi Kompasianer juga, sambil kita semua terus berbenah diri untuk menyajikan karya-karya yang semakin berkualitas, karena sebaik-baik manusia adalah yang mendatangkan manfaat bagi banyak orang. Pasang surut dalam kehidupan adalah hal yang biasa, bertahanlah terus sampai ambang batas ketahanan itu kita capai. Tidak ada kok orang yang menyalahkan kita, tapi mereka akan dirundung kerinduan yang tiada tara, sampai mereka sendiri juga mengambil giliran untuk memilih jalan yang kita pilih.

Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan nama, yang teridentifikasi dalam legacy berupa karyanya. Semoga.

Jonggol, 20 Agustus 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun