Ketimbang kau harus memaksakan diri.
Untuk tetap peduli dengan kami semua.
Yang masih berada di daratan.
Sama seperti memaafkan.
Melupakan dan mencoba lagi.
Selamattinggal hanyalah sebuah kata lain.
Tulisan di atas saya olah dari berbagai sumber plus hasil pemikiran sendiri, tidak ada maksud untuk menyajikannya seperti puisi, karena saya bukan seorang pemuisi dan batin saya tergerakkan untuk memberikan tanggapan atas puisi mbak Fatmi di atas, sekaligus juga untuk artikel rekanda Kompasianer lain yang merasakan hal yang sama, saya juga ikut merasakannya.
Untuk rekanda yang masih memilih untuk bertahan dengan segala macam pilihan dan alasan yang masih tersisa, marilah terus mengolah rasa menjadi karya dan manfaat, sampai kapal kita masing-masing datang untuk menjemput kita.
Karya-karya kita masih bisa digunakan sebagai bahan untuk mengedukasi banyak orang, bahkan menyemangati mereka untuk memilih menjadi Kompasianer juga, sambil kita semua terus berbenah diri untuk menyajikan karya-karya yang semakin berkualitas, karena sebaik-baik manusia adalah yang mendatangkan manfaat bagi banyak orang. Pasang surut dalam kehidupan adalah hal yang biasa, bertahanlah terus sampai ambang batas ketahanan itu kita capai. Tidak ada kok orang yang menyalahkan kita, tapi mereka akan dirundung kerinduan yang tiada tara, sampai mereka sendiri juga mengambil giliran untuk memilih jalan yang kita pilih.
Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan nama, yang teridentifikasi dalam legacy berupa karyanya. Semoga.
Jonggol, 20 Agustus 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H