Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meng-Unzip Puisi "Kidung Asmara" Ali Musri Syam yang Sarat Sains

16 Agustus 2021   02:45 Diperbarui: 16 Agustus 2021   03:33 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gempa di Jepang. Sumber: https://www.jrailpass.com/blog/earthquakes-in-japan

Menulis sebuah puisi bukanlah hal yang mudah, lebih tidak mudah lagi menemukan pembacanya, yang menurut saya kalau pun ada, derajat pemaknaannya hanya bisa mendekati pemaknaan si pemuisi sendiri. Kenapa?

Karena sudah menjadi sebuah premis bahwa sebuah puisi adalah curahan, penuangan, pengejawantahan gejolak jiwa penulisnya. Puisi ditulis karena naluri si pemuisi untuk melestarikan buah pikiran yang pada gilirannya bisa dinikmati dan diambil manfaatnya oleh si pembaca.

Manfaat pembelajaran dari sebuah puisi antara lain:
1. Ikut merasakan gejolak jiwa yang dibagikan oleh si pemuisi.
2. Membukakan wawasan bahwa salah sebuah hakekat puisi adalah penyampaian secara stenografik atau shorthand dari rasa yang diolah si pemuisi.

Di atas, saya memilih penggunaan kata "derajat" pemaknaan pembaca, karena saya sedang membuat perbandingan tanpa prasangka mengenai pemaknaan si penikmat puisi dengan si empunya puisi. Meningkatkan derajat itu memerlukan penambahan jam terbang (baca: jam baca puisi), tetapi deviasi standar tertentu tetap ada.

Di sini terlihat jelas keberkelindanan jam baca dengan eksperimen saintifik, yang bukan untuk menemukan kebenaran 100 persen tetapi memperkecil error (deviasi standar), statistically speaking.

Satu yang yang hendak saya tegaskan di sini, tentu saja juga tanpa prasangka, saya tidak mengatakan bahwa pemuisi juga ada derajatnya, sama sekali tidak.

Ini adalah situasi yang sangat berbeda. Coba kita lihat saja ada berapa banyak pemuisi di Kompasiana? Hanya segilintir kan? Yang terpantau oleh saya: Ali Musri Syam, Bambang Syairuddin, Fatmi Sunarya, Ari Budiyanti, dll. (maaf tidak saya sebutkan nama rekanda Kompasiana). Yang saya sebutkan baru nama-nama pemuisi yang pernah saya "coba-coba" nikmati karyanya.
 
Kata "derajat" sama sekali tidak bisa dan tidak boleh saya gunakan karena:
1. Ada pemuisi yang memang menjadi pemuisi karena panggilan jiwanya.

2. Ada pemuisi yang awalnya mengekplorasi bidang ini untuk mencaritahu apakah dia bisa menulis puisi, dan dengan berjalannya waktu dia pun menjadi seorang pemuisi.

Kedua jenis pemuisi ini mengolah rasanya melalui kilatan gagasan maupun hasil perenungan, yang semuanya dituangkan ke dalam tulisan yang sesingkat mungkin.

Saya sangat menghargai para pemuisi karena berdasarkan pengalaman saya, saya selalu mengajarkan kepada anak-anak bahwa konten buku teks apapun hanya 10 persen intisari dan selebihnya adalah pemaparan. Nah, yang dikerjakan oleh para pemuisi adalah menciutkan lebih lanjut yang 10 persen itu!

Konsekuensinya, meningkatlah ketersiratan makna rasa. Saya pernah membaca puisi Bambang Syairuddin yang hanya berkonten persis 20 kata, ya, 20 kata! Di sini saya melihat adanya kemiripan selembar puisi dengan selembar foto, berjuta maknanya.

Eit, apa macam? (Meniru gaya bicara seorang teman Tamil saya), yang unik adalah (kita mulai masuk ke pokok bahasan), atas komentar saya mengenai puisinya di atas, pak Ali Musri Syam:
1. Menanggapi dengan mengatakan tidak paham dengan fisika.

2. Meminta saya mengkaji puisi-puisinya dari sudut pandang fisika (ini jelas karena pak Ali melihat bahwa belakangan ini saya menayangkan artikel-artikel Fisika untuk Hiburan dari berbagai topik bahasan).

Pak Ali, yang bisa saya janjikan adalah jangan "puisi-puisi" dulu pak, 1 per 1 puisi saja ya? Dimulai dengan puisi yang 1 ini dulu, yang kontennya memang terbaca, dengan derajat apresiasi saya, adalah bukan hanya konsep fisika, tetapi juga....... kimia dan biologi!

Puisi ini mendatangkan pencerahan bagi saya:
1. Bahwa disadari atau tidak, pak Ali telah menuliskan banyak konsep fisika dalam sebuah puisi 4 bait, sedangkan yang saya tulis dalam setiap artikel Fisika untuk Hiburan paling-paling hanya 1 atau 2 konsep yang berkelindanan.

2. Pak Ali telah membuat stenografi berbagai konsep saintifik dengan metode "tanpa rumus" seperti dalam artikel-artikel saya, tapi jauh lebih singkat dan itulah "masalah" bagi saya, bagaimana mengekspansi atau memelarkan kembali apa yang sudah dikemas oleh pak Ali dengan kompresi atau penciutan yang bahkan mengalahkan 7Zip atau Winzip dsb.

Bagi pembaca yang tergelitik untuk mengecek tingkat kompresi relatif antara puisi pak Ali dengan artikel ini, hitung saja rasionya hahaha.

Itulah alasan saya, kalau hendak memaknai (baca: unzip) "file zip" puisi, saya harus meluangkan waktu untuk bisa benar-benar menggunakan algoritma yang seakurat-akuratnya, atau mendingan jangan saya baca dulu jika hal ini tidak bisa saya pastikan.

Dekompresi Kidung Asmara kita mulai.

/1/
Sebelum gempa terjadi, getaran bumi menjadi penanda
Setiap kapal berlayar, getaran mengitari sekelilingnya
Setiap udara berhembus, alam bergetar meresapi maknanya
Seperti itulah diriku, kekasih
Setiap bersua denganmu, betapa jantungku bergetar hebat tiap detik

/2/
Perihal udara, setiap yang hidup membutuhkan
Manusia, hewan, tumbuhan; tanpanya, tak mampu melanjutkan kehidupan
Setiap yang bernyawa memastikan ketersediaan
Kekasih, begitulah dirimu
Adalah udara bagi tiap hela nafasku

/3/
Perihal langit, adalah atap bagi segenap alam
Yang hidup maupun mati; di bawah perlindungan
Segala yang ada di kolongnya, menikmati curahan
Kekasih, demikianlah dirimu
Adalah rabung bagi rumahku

/4/
Perihal air, ialah sumber bagi segala kehidupan
Semua makhluk membutuhkan
Tak ada satupun penghuni bumi tak mengindahkan
Kekasih, khatamlah dirimu
Jika kasihmu tak tercurah, adalah takdir kehausan bagi diriku

Gempa di Jepang. Sumber: https://www.jrailpass.com/blog/earthquakes-in-japan
Gempa di Jepang. Sumber: https://www.jrailpass.com/blog/earthquakes-in-japan

Bait 1
Istilah kunci: gempa - getaran bumi - udara.

Gempa (bumi) atau tremor adalah guncangan permukaan bumi yang dihasilkan dari pelepasan energi secara tiba-tiba di litosfer bumi yang menciptakan gelombang seismik.

Pada skala logaritmik Richter, gempa bumi bisa berkisar dari yang sangat lemah (tidak terdeteksi) hingga yang cukup keras (mendorong benda dan orang ke udara), dan menimbulkan kehancuran di seluruh kota.

Merenungkan situasinya, gempa dalam batin pak Ali saya perkirakan setidaknya berskala Richter 4,0.

Getaran atau vibrasi adalah fenomena mekanik dimana osilasi terjadi di sekitar titik kesetimbangan. Kata vibrasi berasal dari bahasa Latin vibrationem (maknanya antara lain: berguncang).

Berdasarkan volume, udara kering mengandung 78,08% Nitrogen, 20,95% Oksigen, 0,93% Argon, 0,04% Karbon dioksida, dan sejumlah kecil gas lainnya. Udara juga mengandung jumlah uap air yang bervariasi, rata-rata sekitar 1% di permukaan laut, dan 0,4% di seluruh atmosfer.

Komponen penyusun udara yang juga merupakan unsur utama pembentuk tubuh manusia adalah: Oksigen 65%, Karbon 18,5%, Hidrogen 10%, dan Nitrogen 3%, lihat artikel saya: 6 Unsur Utama Tubuh Manusia.

Takikardia. Sumber: https://www.mayoclinic.org/-/media/kcms/gbs/patient-consumer/images/2016/10/10/17/19/tachycardia-heartbeat-8col.jpg
Takikardia. Sumber: https://www.mayoclinic.org/-/media/kcms/gbs/patient-consumer/images/2016/10/10/17/19/tachycardia-heartbeat-8col.jpg
Faktor fisika dan kimia di atas berpengaruh pada fungsi biologis pak Ali tatkala bersua dengan sang kekasih: jantung pak Ali bergetar hebat tiap detik.

Denyut jantung diukur dengan denyut nadi dan denyut normal adalah 60-100 kali per menit (beat per minute/bpm).

Getar hebat jantung yang disebutkan oleh pak Ali adalah sebuah kondisi yang disebut takikardia atau takiaritmia, di mana denyut jantung > 100 bpm.

Unsur utama pembentuk tubuh manusia. Dokpri, diolah dari berbagai sumber.
Unsur utama pembentuk tubuh manusia. Dokpri, diolah dari berbagai sumber.

Bait 2
Bait 2 ini adalah penegasan pentingnya udara bagi keberlanjutan kehidupan.

Di sini pak Ali menyamakan, atau setidaknya menyepertikan (kata dasar: seperti) sang kekasih dengan udara, karena penyamaan pada bait 1 sudah diwakili oleh getaran yang berpengaruh ke denyut jantung.

Ridge (rabung). Sumber: https://roofsrestored.com/true-hip-ridge-shingles-what-and-why/
Ridge (rabung). Sumber: https://roofsrestored.com/true-hip-ridge-shingles-what-and-why/

Bait 3
Di sini pak Ali menempatkan faktor getaran dan udara di bawah kendali langit, bahkan menyepertikan sang kekasih dengan rabung (puncak atau bubungan rumah) di bawah mana kehidupannya sehari-hari berlangsung.

Bait 4
Kembali ke perihal air (lihat foto judul), yang secara tersirat sudah disebutkan pada bait 1 (medium untuk kapal berlayar, bait 2 (udara, yang juga mengandung sedikit uap air, dan unsur-unsur pembentuk udara yang dalam tubuh juga berupa air, yaitu senyawa Oksigen dengan Hidrogen)

Kata penting dalam bait terakhir ini, khatam, penyatupaduan semua esensi pada bait 1, 2, dan 3.

Terimakasih pak Ali buat puisi saintifiknya yang memberikan pencerahan.

Salam puisi dan salam sains.

Jonggol, 16 Agustus 2021

Johan Japardi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun