Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Begawan Tjiptadinata Effendi: Tidak Ada Kata "Pensiun" dalam Kamus Kami

8 Agustus 2021   21:13 Diperbarui: 8 Agustus 2021   21:53 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata "begawan" saya pilih karena menurut saya lebih memagut ketimbang "maestro," istilah Italia untuk kata Inggris "master" yang oleh pengguna bahasa Inggris sendiri dirasakan kurang memagut sehingga mereka mengadopsi istilah "guru" dari bahasa Sansekerta.

Tanpa saya cantumkan, kata maestro itu sudah terintegrasi dengan nama Tjiptadinata, atau pak Tjipta atau opa Tjipta. Terkait kata opa, boleh jugalah kita menggunakan istilah "eyang kakung," dan dengan demikian bisa mengaplikasikan "eyang putri" untuk Ny. Tjiptadinata Effendi yang menggunakan nama Roselina Tjiptadinata di Kompasiana.

Coba telusuri sendiri nama sang begawan ini di Kompasiana dan Anda akan tahu siapa beliau. Jika tidak menempuh cara ini, mungkin Anda juga akan mendapat pengalaman seperti saya, mendapat tegur sapa dari beliau dan istri beliau, tatkala saya belum sebulan menulis di Kompasiana (masih debutan). Bayangkan betapa bermaknanya mendapat sambutan selamat bergabung dari mereka!

Jika Anda orang yang berpikiran "kritis" dan "agak negatif," terkait tegur sapa ini, mungkin akan muncul pertanyaan: Siapa sih orang ini? Kok kayak mau cari perhatian dari orang yang belum dikenal? Atau lebih jauh lagi, kok sudah tua begini masih nggak berhenti menulis? Saya mau katakan, pemikiran seperti itu keliru total!

Jika Anda menyimak tahapan "gelar" penulis Kompasiana, begawan adalah level pamungkas, atau level ke-7, yang harus telah mengumpulkan 250.001-1.000.000 poin. Ada berapa orang sih yang sudah berada dalam level ini, dalam alam yang saya lihat sangat kesepian bak nukleus atom unsur Hidrogen itu?

Bagi pak Tjipta, menambahkan artikel sebanyak apa pun tidak akan membawa pengaruh apa-apa lagi, poin sebesar 250.001 atau 1.000.000 itu tidak ada bedanya kawan.

Lalu apa alasan beliau terus menulis, termasuk sebuah artikel yang mengupas tuntas alasan itu, Inilah Pengalaman Sejati Menjalani Hidup di Masa Pensiun, dengan kalimat inspiratif: Bagi kami berdua, pensiun di kursi goyang ? No, Way! itu?

Biarkan saya mengupas secara singkat:
1. Passion yang disertai semangat yang luar biasa: Menulis adalah Bagian dari Kesenangan Hidup.

Kami berdua bersyukur kepada Tuhan, dalam usia 78 plus tetap sehat lahir batin dan hidup mandiri (Kutipan komentar pak Tjipta atas artikel saya).

2. Mari kita menekan sakelar pikiran kita ke posisi ON (POSITIF):
Orang sekaliber begawan kita menulis untuk memberikan manfaat kepada sebanyak-banyaknya orang lain (ini juga menjadi titik keberangkatan saya ketika mulai menulis di Kompasiana).

Kita simak, resapi dan renungkan kalimat di atas, kalau niat seseorang, apalagi seorang begawan, adalah memberikan manfaat, entah kalau Anda pembaca sekalian, kalau saya, kesimpulan langsung yang bisa saya tarik adalah: berarti tidak ada niat untuk "mengambil" manfaat dari orang lain, apalah makna perhatian, dari orang yang tak dikenal pula, atau aktualisasi diri yang semu, menambahkan poin dan lain-lain sebagainya.

Sebuah komentar yang dititipkan begawan kita di salah sebuah artikel saya dengan jelas menunjukkan niat ini (ketikan bebas):
"Kalau ada 1 orang saja yang membaca dan merasakan manfaat artikel yang kita tulis, berarti manfaat itu sudah sampai."

Sampai? Ke 1 orang saja? Coba kita renungkan kata-kata pak Tjipta ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun