Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketuhanan Yang Maha Esa

1 Juni 2021   21:42 Diperbarui: 1 Juni 2021   22:14 2183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bung Karno menyebut Pancasila sebagai fondasi filosofis (bahasa Belanda: philosopische grondslag, bahasa Inggris: philosophical foundation), yakni dasar negara, pandangan hidup bangsa Indonesia.

Dasar negara inilah pedoman dan petunjuk dalam menjalani keseharian hidup mulai dari pribadi demi pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa Indonesia. Pancasila juga sumber segala sumber hukum pada mana didasarkannya, dan ke arah mana tujuannya, semua tatanan Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan Nasional (Ipoleksosbudhankamnas).

Dalam artikel: Apakah Dasar Negara Bisa Diganti?, saya sudah mengupas tentang kemendasaran Pancasila itu dan sekarang kita masuk ke sila pertama: Ketuhanan yang Maha Esa.

Sila pertama ini sendiri adalah dasar segala dasar, yakni landasan bagi 4 sila berikutnya. Saran saya, jika ada orang yang belum menghafal kelima butir Pancasila, mulailah menghafalkannya.

Sekelumit paparan saya tentang sila Ketuhanan yang Maha Esa ini bukan berupa pembahasan konsep filosofis, aplikasi yang bisa menjurus ke "benar" dan "salah," tapi contoh aplikasi dan orang yang mengaplikasikannya, dan biarlah para pembaca sendiri yang menilai benar-salahnya.

Sila pertama ini adalah sila paling penting dan paling utama, dan menjadi prasyarat untuk mengaplikasikan 4 sila berikutnya.

Ustaz Letkol Laut Dr. Sri Depranoto, S.Ag, M.Pd.
Ustaz kita yang baru-baru ini memberikan kesempatan istimewa dan langka bagi saya untuk menyaksikan tausiah beliau, yang saya ulas dalam artikel saya: Ku Tak Sendiri, Bersama Itu Indah, Tetanggaku adalah Saudaraku, akan saya ulas lagi di sini dalam perspektif pemahaman sila pertama.

Bagian dari konten tausiah beliau, yang belum saya sebutkan sebelumnya karena keterbatasan ruang untuk bisa mencakupkan semua esensi tausiah yang singkat padat namun luas itu, antara lain adalah ucapan beliau  tentang tidak membeda-bedakan manusia, dalam hal ini tetangga, dari agama yang dianutnya. Biarlah setiap orang menjalankan agamanya masing-masing dan beribadah ke rumah ibadahnya masing-masing, yang penting jangan lupa ke rumah ibadah itu.

Shalatlah sebelum engkau dishalatkan.

Pemahaman agama dan pengaplikasian pemahaman agama sang Ustaz dahsyat ini sungguh mencerahkan saya yang berkeyakinan berbeda, dan menjadi sebuah teladan bagi saya untuk bagaimana memperlakukan orang lain yang agamanya berlainan dengan saya. Masalah orang tersebut mau membuka diri dan menerima kebenaran ini, itu urusan lain. Terima kasih pak Ustaz.

Dengan memegang kebenaran ini, maka terwujudlah keguyuban bertetangga, kalau ada tetangga yang memerlukan bantuan, bantulah, kalau ada tetangga yang berkemalangan, ikut bertakziahlah sebisa kita, setidaknya dengan menyampaikan, misalnya pesan WA, "ikut berbelasungkawa," kalau ada tetangga yang sedang bersukacita dan mengundang kita, ikutlah memberikan tahniah sebagai ungkapan kita ikut merasakan kebahagiaan yang mereka bagikan kepada kita, dsb. Damailah Indonesia, damailah dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun