Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah Dasar Negara Bisa Diganti?

1 Juni 2021   02:27 Diperbarui: 1 Juni 2021   04:32 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau saya analogikan, seperti cerita dalam artikel saya, Biarkanlah Kata "Salah" Hanya di dalam Kamus: Mengapa Ayam Menyeberangi Jalan? Versi 1.1, antara pendapat seorang polisi: "Bapak bisa kasih saya waktu 10 menit? Biar saya... interogasi dulu ayam itu," dengan ayam itu sendiri (bukan dengan interogasi): "Tadi kata bibi Nurhaida Abdulrahman lapar dia, disuruhnya aku membeli bakso di Sungei Kepayang, lupa pula dia mengasih duitnya, terpaksalah balek aku dulu menjemputnya." Dua-duanya punya logika yang tidak bisa disalahkan.

Suatu hari, perdebatan itu pun terjadi. Hal yang menggembirakan adalah bahwa dua orang dari dua generasi yang berbeda ini punya latar belakang hubungan saudara yang akrab, pak A menyayangi keponakannya dan B selalu menghormati sang paman.

Setelah dalam beberapa kesempatan sebelumnya, pak A mencoba melaksanakan rencananya agar bisa meluruskan cara berpikir B (terlihat di bawah ini) dan pada hari itu pak A ingin meneruskan "penataran" sekaligus menindaklanjuti pembelajaran B sebelumnya.
B: "Paman apa kabar hari ini?"
Pak A: "Baik-baik saja, bisa kita lanjutkan diskusi kita?"
B: "Bisa paman, kan kita memang sudah janjian diskusi sekarang."
Pak A: "Bisa kau elaborasi dulu pendapatmu pada sesi sebelumnya"
B: "Begini paman, saya, juga beberapa orang teman, menganggap bahwa zaman sudah sangat berubah, dan Pancasila itu kayaknya sudah kurang relevan. Hendaknya generasi sekarang bersatu padu untuk memikirkan apakah Pancasila perlu diganti, di tengah kemajuan teknologi yang terbayangkan pun tidak pada masa Pancasila dilahirkan."
Pak A (dengan menyembunyikan kekagetannya): "Begini B, paman tanya kau dulu, kau tahu Pancasila itu dasar negara dan sumber segala sumber hukum kita?"
B: "Tahu paman."
Pak A: "Sekarang, dengan segenap intelegensiamu, coba kau pikirkan, sesuatu yang dijadikan dasar itu harus kuat atau tidak?"
B: "Tentu saja kuat paman?"

Catatan:
Karena pada pembicaraan selanjutnya pak A menggunakan istilah founding father, dia agak disela oleh B dengan menyodorkan istilah yang menurutnya lebih tepat, yang dia dapat setelah mendengar seorang "filsuf" berbicara (tepatnya berkaok-kaok): founding parent, karena mother juga termasuk di dalamnya. Ini langsung disanggah oleh pak A yang juga pernah mendengar "kaokan" yang sama dan sudah mempersiapkan sanggahan itu: founding father di sini dimaknai seperti pada fatherland maupun motherland, dua-duanya inklusif "tanah air."

Pak A: "Kalau kuat kenapa diganti? Kau tak akan bisa membayangkan segala sumberdaya yang sudah dicurahkan oleh para founding father kita untuk akhirnya sampai pada kesepakatan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan sumber segala sumber hukum kita. Bayangkan kau sedang membangun sebuah piramida, paman ambil piramida sebagai contoh agar lebih jelas, dasarnya harus kuat dan luas pula, agar lapisan di atasnya bisa ditopang tanpa mengalami keruntuhan. Lapisan yang ketiga ditopang oleh dasar dan lapisan kedua piramida ini, dan seterusnya sampai ke puncak. Negara adalah sebuah piramida yang belum sampai ke puncaknya yang sangat tinggi, yang ditempati oleh generasi penerus, dan lapisan teratas menjadi penopang lapisan yang lebih di atasnya lagi, yang ditempati oleh generasi yang menjadi penerus generasi penerus itu, dan seterusnya selagi waktu masih ada, yang berarti negara juga masih ada. Coba kau katakan, bagaimana caranya mengganti dasar itu?"
B (mulai takluk, tapi masih berkelit): "Ada sih paman, cuma sangat berat. Tapi bagaimana dengan penyesuaian kita dengan kemajuan yang dihasilkan oleh teknologi modern itu?"
Pak A: "Coba kau kembali ke laptop. Pancasila adalah dasar negara dan sumber segala sumber hukum kita. Kita memang tidak bisa menghindari kehadiran kemajuan dan harus melakukan penyesuaian. Tapi itu tidak harus membuatmu berpikir terlalu jauh untuk mengganti dasar negara, cukup membentuk sumber hukum yang mengatur semua itu, dan apa sumbernya sumber hukum itu? PANCASILA. Adalah dosa besar kalau kita mengkhianati para founding father kita yang demikian luhur itu, mengerti kau?" (Baru kali ini pak A mengucapkan 2 kata terakhir yang terakhir dia gunakan ketika B masih remaja.
B: "Paman, di mana saya bisa mendapatkan penataran P4?"
Pak A: "Diskusi kita selama ini sudah P4 itu sendiri, tinggal kita lanjutkan saja, dan kalau kau memerlukan dokumen-dokumen pendukung, tinggal kau ambil saja dari perpustakaan paman. Tapi sebelum kau melakukan semua itu, kau hafal dulu 5 butir Pancasila itu."
B: "Siap pamanda, damailah Indonesia."

Jonggol, 1 Juni 2021


Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun