Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah Dasar Negara Bisa Diganti?

1 Juni 2021   02:27 Diperbarui: 1 Juni 2021   04:32 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: kelbandungrejosari.malangkota.go.id

Dipersembahkan untuk: Para Founding Father Negara Kesatuan Republik Indonesia

Judul artikel ini mengejutkan, tapi isinya bukan mengarah ke penggantian Pancasila sebagai dasar negara, melainkan sebuah pertanyaan yang menjadi perdebatan antara, katakanlah seorang alumnus Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila, P4 (seperti saya), dengan katakanlah, seorang anak muda yang menjadi lawan debatnya, yang belum pernah mengecap penataran P4 itu.

Ini adalah artikel perdana saya untuk Topik Pilihan Pendidikan Pancasila, dan saya memulainya dengan sebuah naratif yang paling mendasar, sebisa mungkin mendekati kemendasaran Pancasila itu sendiri.

Supaya tercapai tujuan saya untuk menyampaikan manfaat yang sebesar-sebesarnya kepada sebanyak- banyaknya pembaca, dan tidak menyebut apalagi menyinggung orang-perorangan maupun kelompok dengan pikiran yang mewakili masing-masing dari 2 orang di atas, maka artikel ini saya buat berupa percakapan (perdebatan) di antara dua orang itu, katakanlah pak A dengan keponakannya, B.

Pak A semakin hari semakin prihatin dan risau dengan kenyataan bahwa di negara Republik Indonesia ini, sejak penataran P4 dihilangkan, maka pedoman dalam P4 ini pun tidak lagi menjadi pegangan, utamanya generasi muda. Jangankan tak memegang sebuah pedoman, kelima butir Pancasila pun mereka sudah tidak hafal. Ini salah siapa? Kalau Pancasila masih dasar negara, kenapa butir-butirnya saja tidak dihafal?

Mendikbud Nadiem Makarim mengharapkan Pancasila tak hanya sekadar dihapalkan, tetapi lebih dihayati dan diamalkan, untuk menciptakan manusia Indonesia yang berintegritas, bermoral, dan spiritual. Bagaimana harapan pak menteri ini bisa diwujudkan kalau menghafal saja tidak dilakukan? Bukankah orang yang tidak punya pedoman itu bagaikan sebuah kapal yang terombang-ambing di lautan?

Keadaan ini sudah terlalu lama dibiarkan, tapi kabar baiknya sekarang segala macam upaya pemulihan dilakukan, walau tidak lagi dalam format penataran.

Dulu, di tahun 1980-an, ketika pak A diterima sebagai mahasiswa di salah sebuah PTN, sebelum memulai perkuliahan, beliau mengikuti penataran P4 ini, yang wajib harus lulus. Sekarang, pak A harus berhadap-hadapan dengan B, keponakannya, juga seorang sarjana, S3 malah, yang sama sekali tidak mempedulikan bahwa dia termasuk orang yang tidak menghafal butir-butir Pancasila, dan pernah tidak bebas dari tilang oleh polisi ketika dia tidak bisa memenuhi syarat untuk bebas itu, menghafal butir-butir Pancasila!

Apakah pak polisi dan pak A bisa menyalahkan si B? Tentu saja tidak bisa. Dari mana jalannya bisa mengharapkan seseorang yang jangankan mengikuti penataran P4, mendapat pembelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) saja pun tidak, untuk bisa sepikiran dengan pak A?

Pak A, setelah menyadari kenyataan tentang si B, mulai mencoba mengubah cara berpikir keponakannya itu, dengan peluang berhasil atau gagal fifty-fifty.

Rencana pak A ini membutuhkan upaya yang panjang dan waktu yang lama, karena mereka berdua tidak bisa disalahkan dengan alasan memiliki pendapat yang berseberangan, dua-duanya berpikir logis kok, di bawah kondisi masing-masing yang menjadi perbedaan dasar mereka.

Kalau saya analogikan, seperti cerita dalam artikel saya, Biarkanlah Kata "Salah" Hanya di dalam Kamus: Mengapa Ayam Menyeberangi Jalan? Versi 1.1, antara pendapat seorang polisi: "Bapak bisa kasih saya waktu 10 menit? Biar saya... interogasi dulu ayam itu," dengan ayam itu sendiri (bukan dengan interogasi): "Tadi kata bibi Nurhaida Abdulrahman lapar dia, disuruhnya aku membeli bakso di Sungei Kepayang, lupa pula dia mengasih duitnya, terpaksalah balek aku dulu menjemputnya." Dua-duanya punya logika yang tidak bisa disalahkan.

Suatu hari, perdebatan itu pun terjadi. Hal yang menggembirakan adalah bahwa dua orang dari dua generasi yang berbeda ini punya latar belakang hubungan saudara yang akrab, pak A menyayangi keponakannya dan B selalu menghormati sang paman.

Setelah dalam beberapa kesempatan sebelumnya, pak A mencoba melaksanakan rencananya agar bisa meluruskan cara berpikir B (terlihat di bawah ini) dan pada hari itu pak A ingin meneruskan "penataran" sekaligus menindaklanjuti pembelajaran B sebelumnya.
B: "Paman apa kabar hari ini?"
Pak A: "Baik-baik saja, bisa kita lanjutkan diskusi kita?"
B: "Bisa paman, kan kita memang sudah janjian diskusi sekarang."
Pak A: "Bisa kau elaborasi dulu pendapatmu pada sesi sebelumnya"
B: "Begini paman, saya, juga beberapa orang teman, menganggap bahwa zaman sudah sangat berubah, dan Pancasila itu kayaknya sudah kurang relevan. Hendaknya generasi sekarang bersatu padu untuk memikirkan apakah Pancasila perlu diganti, di tengah kemajuan teknologi yang terbayangkan pun tidak pada masa Pancasila dilahirkan."
Pak A (dengan menyembunyikan kekagetannya): "Begini B, paman tanya kau dulu, kau tahu Pancasila itu dasar negara dan sumber segala sumber hukum kita?"
B: "Tahu paman."
Pak A: "Sekarang, dengan segenap intelegensiamu, coba kau pikirkan, sesuatu yang dijadikan dasar itu harus kuat atau tidak?"
B: "Tentu saja kuat paman?"

Catatan:
Karena pada pembicaraan selanjutnya pak A menggunakan istilah founding father, dia agak disela oleh B dengan menyodorkan istilah yang menurutnya lebih tepat, yang dia dapat setelah mendengar seorang "filsuf" berbicara (tepatnya berkaok-kaok): founding parent, karena mother juga termasuk di dalamnya. Ini langsung disanggah oleh pak A yang juga pernah mendengar "kaokan" yang sama dan sudah mempersiapkan sanggahan itu: founding father di sini dimaknai seperti pada fatherland maupun motherland, dua-duanya inklusif "tanah air."

Pak A: "Kalau kuat kenapa diganti? Kau tak akan bisa membayangkan segala sumberdaya yang sudah dicurahkan oleh para founding father kita untuk akhirnya sampai pada kesepakatan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan sumber segala sumber hukum kita. Bayangkan kau sedang membangun sebuah piramida, paman ambil piramida sebagai contoh agar lebih jelas, dasarnya harus kuat dan luas pula, agar lapisan di atasnya bisa ditopang tanpa mengalami keruntuhan. Lapisan yang ketiga ditopang oleh dasar dan lapisan kedua piramida ini, dan seterusnya sampai ke puncak. Negara adalah sebuah piramida yang belum sampai ke puncaknya yang sangat tinggi, yang ditempati oleh generasi penerus, dan lapisan teratas menjadi penopang lapisan yang lebih di atasnya lagi, yang ditempati oleh generasi yang menjadi penerus generasi penerus itu, dan seterusnya selagi waktu masih ada, yang berarti negara juga masih ada. Coba kau katakan, bagaimana caranya mengganti dasar itu?"
B (mulai takluk, tapi masih berkelit): "Ada sih paman, cuma sangat berat. Tapi bagaimana dengan penyesuaian kita dengan kemajuan yang dihasilkan oleh teknologi modern itu?"
Pak A: "Coba kau kembali ke laptop. Pancasila adalah dasar negara dan sumber segala sumber hukum kita. Kita memang tidak bisa menghindari kehadiran kemajuan dan harus melakukan penyesuaian. Tapi itu tidak harus membuatmu berpikir terlalu jauh untuk mengganti dasar negara, cukup membentuk sumber hukum yang mengatur semua itu, dan apa sumbernya sumber hukum itu? PANCASILA. Adalah dosa besar kalau kita mengkhianati para founding father kita yang demikian luhur itu, mengerti kau?" (Baru kali ini pak A mengucapkan 2 kata terakhir yang terakhir dia gunakan ketika B masih remaja.
B: "Paman, di mana saya bisa mendapatkan penataran P4?"
Pak A: "Diskusi kita selama ini sudah P4 itu sendiri, tinggal kita lanjutkan saja, dan kalau kau memerlukan dokumen-dokumen pendukung, tinggal kau ambil saja dari perpustakaan paman. Tapi sebelum kau melakukan semua itu, kau hafal dulu 5 butir Pancasila itu."
B: "Siap pamanda, damailah Indonesia."

Jonggol, 1 Juni 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun