Putri dengan buku Totto-Chan dan sekuelnya, 24 Mei 2021.
Madogiwa no Totto-chan adalah buku anak-anak yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi, pertama kali diterbitkan pada 1981 dan menjadi bestseller di Jepang. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela dan diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada April 2008, juga menjadi bestseller untuk para pembaca anak-anak dan remaja putri.
Cetakannya yang ke-21, Agustus 2016 menjadi salah sebuah buku yang dikoleksi di Perpustakaan Pribadi Putri Natalia Japardi, perpustakaan anak saya.
Ternyata buku ini ada sekuelnya, Anak-Anak Totto-chan: Perjalanan Kemanusiaan untuk Anak-Anak Dunia dan yang dimiliki Putri adalah cetakan ke-9, Januari 2017.
Jadi kurang lengkap rasanya jika saya tidak menulis juga sebuah artikel tambahan khusus tentang Toto-Chan untuk Topik Pilihan Buku Anak.
IDN Times menguraikan 7 Nilai Sosial yang Bisa Dipelajari dari Novel Totto-Chan.
Saya tayangkan sekali lagi foto Putri ketika membaca Totto-Chan, yang pernah saya tayangkan dalam artikel: Naratif Evolvabel: Cikal Bakal Bacaan di Masa Depan?
Tampaknya novel ini sangat menarik bagi Putri.
Tadi, via WA, saya dikirimi foto Putri sedang memegang kedua buku ini (foto judul), dan adiknya tidak mau ketinggalan berfoto.
Eca belum membaca Toto-Chan, tapi dia tahu bahwa ini buku bagus dan akan membacanya jika punya waktu senggang. Minimal, sekarang Eca tahu bahwa "Chan" itu adalah akhiran yang disematkan pada nama gadis remaja di Jepang, sedangkan untuk anak laki-laki "-Kun."
Sebagai pelengkap, saya juga meminta Putri mengirimkan foto stempel perpustakaannya, dan saya dikirimi foto stempel itu pada buku terbaru koleksinya, Senjakala karya Risa Saraswati, bertanggal Senin, 10 Mei 2021, tanggal buku ini dibeli.
Saya dan anak-anak berkeyakinan bahwa membaca buku tidak perlu dibatasi jenis dan jumlahnya, lihat artikel saya: Paradoks Pembatasan Jenis dan Jumlah Bacaan Menurut Usia Anak. Yang penting sebuah buku itu mulai dibaca, dan dibaca terus jika isinya menarik. Jadi tidak mengherankan jika selain buku-buku untuk remaja putri, Putri juga membaca Sun Go Kong karya Yan Wijaya.
Saya sangat senang melihat anak-anak saya punya kegemaran membaca dan tahu memprioritaskan membaca buku, di atas, misalnya menonton film atau bermain game. Kalau mereka menonton film lepas atau drama seri, mau semenarik apa pun tontonan itu, mereka bisa mengatur diri hanya menonton 1-2 jam sehari, itu pun pada akhir pekan atau hari libur, karena kegiatan mereka setiap hari lumayan banyak. Selain kegiatan rutin, mereka juga membaca novel, menonton film, latihan bermain beberapa instrumen musik, berolahraga, dan memasak.
Awalnya, saya hanya mengarahkan mereka untuk menyusun jadwal kegiatan yang tertib, dan sebagian besar pembelajaran Eca dari kakaknya yang sudah lebih dulu belajar, dengan beberapa pengecualian, misalnya Eca masih ikut latihan karate dan bermain sepatu roda.
Saya tersenyum sendiri jika mengingat persistensi anak ini kalau sudah punya kemauan tertentu. Pernah suatu ketika Eca minta dibelikan sepatu roda tetapi tidak saya izinkan. Diam-diam dia belajar bersepatu roda dengan sepupunya. Setelah dia mahir, mau tak mau saya pun membelikan dia sepasang sepatu roda. Di sini juga tampak bahwa pembatasan berdasarkan jender anak bisa dikalahkan oleh kemauan anak itu. Tidak apa-apalah kalau itu hanya satu dua kegiatan, kalau berlebihan, bisa-bisa dia dijuluki "tomboy."
Jonggol, 24 Mei 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H