Buku-buku disusun ulang ke dalam rak besi yang sudah selesai dibuat.
Saya mulai mengoleksi buku sejak SD. Tak ada yang menonjol dari koleksi ini kecuali banyak buku peninggalan almarhum kakek saya, Yap Chenghuat (Mr. Yap) yang semasa hidupnya pernah menjadi Kepala Sekolah Methodist English School dan panatua di Methodisten Kerk yang didirikan pada 1929 (Sekarang Gereja Methodist I Tanjungbalai Asahan).
Selain buku, saya juga mengoleksi perangko, lalu harmonika (lihat Koleksi Harmonika Langka Saya), dan beberapa tahun terakhir ini juga piringan hitam (phonograph record atau vynil record), baik yang baru maupun yang bekas, setelah saya membeli sebuah pemutar piringan hitam (turntable). Untuk koleksi yang satu ini, saya tidak begitu fokus, sedangkan koleksi perangko beserta buku saya selama 20 tahun lebih lenyap digerogoti rayap pada November 2001 (lihat artikel Let Go dan Move On dari Musibah 2001).
Jadi saya hanya fokus pada pengoleksian harmonika dan buku yang mulai saya beli lagi sejak akhir 2001, yang sebagian kecil juga terpaksa saya buang pasca banjir 2007 dan 2008.
Sejak awal Juli 2018, saya pindah dan menetap di Citra Indah City, Jonggol, Kabupaten Bogor Jawa Barat, dan langsung merenovasi rumah yang saya beli dan membangun lantai 2 untuk perpustakaan. Total biaya renovasi yang saya keluarkan adalah lebih dari 2 kali harga rumahnya, tapi saya mendapat sebuah perpustakaan seluas 30 meter persegi, dan buku-buku saya mendapat tempat penyimpanan yang layak dibanding sebelum-sebelumnya. Worth it-lah.
Catatan:
Perpustakaan, kata dasarnya pustaka, berasal dari bahasa Tamil, pustakam, yang bermakna: buku.
Karena semua rak buku papan saya tidak saya bawa dari tempat kediaman saya sebelumnya, kecuali rak-rak persegi minimalis dari kayu jati Belanda yang beli dari IKEA, maka saya pun lalu menempah kerangka rak buku dari besi dan menggabungkannya dengan rak papan yang saya potong agar ukurannya sesuai dengan kerangka besi itu. Jadilah sebuah Perpustakaan Pribadi Johan Japardi.
Berikut foto perpustakaan saya (dari kiri ke kanan, karena tidak bisa difoto sekaligus). Ini belum mencakup seluruh buku saya, karena sebagian buku saya gunakan sebagai rujukan saya letakkan di lantai 1 di SOHO (Small Office Home Office) saya. Di dalam perpustakaan saya ini terdapat bagian berisi buku-buku filsafat China, Batakologi, Javanologi, TCM (Traditional Chinese Medicine) yang menjadikan saya seorang herbalis, pengetahuan teori musik dan instrumen musik, novel fiksi, sedikit buku farmasi, dll. Dari salah sebuah bagian ini terdapat koleksi buku karya Lin Yutang dalam bahasa Inggris yang mencapai hampir 40 judul. Karena buku-buku ini sudah cetak ulang, maka saya membelinya sekaligus sebagai tambahan dari edisi lama yang sudah saya koleksi, dan karyawan toko di Shenzhen Book Mall, cabang Nanshan, Shenzhen, sempat saya buat terkaget-kaget ketika saya memborong 40 buku ini dari toko mereka.
Hasil refleksi saya mengenai barang-barang koleksi, berdasar pengalaman saya dalam menjalankan hobi yang satu ini, seperti yang saya tulis dalam artikel tentang koleksi harmonika, adalah:
Mengoleksi apa pun hendaknya berupa item yang bisa digunakan, bukan hanya untuk dilihat-lihat. Juga, jangan sampai kemelekatan kita kepada apa yang kita koleksi membuat kita berpikir dan bertindak di luar nalar. Pada akhirnya, koleksi kita itu akan lenyap, dan manfaat yang ditinggalkanya berada dalam pikiran kita dan orang-orang yang ikut merasakan pengaruhnya. - Johan Japardi.
Di luar buku-buku cetak, saya mengoleksi lebih dari 34.000 e-books. Tak mungkin saya punya cukup waktu untuk membaca semuanya, sebagaimana yang telah saya lakukan dengan buku-buku cetak itu, yang bahkan salah satu di antaranya, Makna Hidup (The Importance of Living) karya Lin Yutang, sudah saya baca bolak-balik sebanyak 11 kali. Â
Jonggol, 6 Mei 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H