Mohon tunggu...
Johan Charis Fauzan
Johan Charis Fauzan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya adalah pelajar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nihilisme dan cara melampauinya

8 Januari 2025   18:26 Diperbarui: 8 Januari 2025   18:26 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Nihilisme adalah sebuah  filosofi dalam ilmu filsafat yang menolak aspek dasar dan/atau umum dari eksistensi manusia seperti kebenaran objektif, moralitas, atau makna hidup.  Nihilisme berasal dari bahasa Latin nihil yang berarti 'tidak ada'. Seorang nihilis menilai bahwa dunia nyata tidak seharusnya ada dan dunia sebagaimana seharusnya tidak ada. Dalam pandangan ini keberadaan kita, tindakan, penderitaan, keinginan, perasaan tidak memiliki arti atau tujuan.

Konsep nihilisme sudah dalam ajaran Buddha yaitu Anata yang menjelaskan bahwa tidak ada pribadi yang sejati atau permanen dalam kehidupan dan penganut ketiadaan nilai disebut natthikavada.  Istilah nihilisme itu sendiri dipopulerkan oleh seorang filusuf Jerman Friedrich Jacobi saat menjelaskan bagaimana logika dan pemikiran rasional yang berkembang sejak abad pencerahan dapat mengarahkan pada keputusasaan eksistensial atau penghindaran terhadap nilai-nilai yang ada. Jacobi mengkritik perkembangan akal, individualisme dan perkembangan teknologi yang terjadi di zaman pencerahan terjadi terlalu cepat sampai-sampai tindakan yang menghancurkan struktur monarki dan gereja juga menghancurkan nilai-nilai yang dibawanya dan mengungkapkan "nihilisme" sebagai keadaan ketika manusia kehilangan nilai-nilai absolut, arti dan Tuhan.

Dalam karyanya "Genealogy of Morals", Nietzsche membagi moralitas menjadi 2 yaitu moralitas tuan dan moralitas budak. Moralitas tuan, menurut Nietzsche berkembang di kalangan orang-orang yang memiliki kekuatan, kekuasaan, dan keberanian. Sementara moralitas budak adalah reaksi terhadap moralitas tuan. Nilai-nilai dalam moralitas budak mencakup rendah hati, kelemahan, kesetaraan, sabar, dan simpati. Moralitas budak berkembang di kalangan orang-orang yang tertindas sebagai bentuk penolakan terhadap moralitas tuan. Nietzsche melihat terjadi pergeseran dari  moralitas tuan ke moralitas budak yang merupakan hasil dari revolusi moral  yang terjadi dalam sejarah manusia. Ketika moralitas budak menggantikan moralitas tuan, nilai-nilai kelemahan dan kesetaraan ditempatkan di atas nilai-nilai kekuatan dan dominasi. Dia berargumen bahwa kepedulian terhadap orang lain haruslah didasarkan pada ketinggian hati, ketidakmemihakan dan juga rasionalitas tinggi yang dimiliki bukan sebagai pembenaran dalam upaya untuk melemahkan kebahagiaan orang-orang yang beruntung atau memiliki hak istimewa. Dan Nietzsche menganggap bahwa agama, dan juga ideologi politik adalah ekstensi universal dari moralitas budak.

Dikarenakan obsesi mereka atas keadilan dan juga kebaikan. Dan moralitas budak ini membunuh akal dan pemikiran manusia yang esensinya adalah hewan yang bisa berpikir. Namun, Nietzsche menganggap bahwa pelajaran ini diberikan kepada orang miskin untuk memanipulasi mereka agar menerima keadaan dan situasi mereka dalam hidup. Jika orang-orang diajari untuk merasa malu kalau memiliki rasa iri dan dengki terhadap orang lain dan apa yang mereka punya, mereka mungkin tidak akan mencapai status yang lebih tinggi. Ia memberikan argumen bahwa agama  berasal dari sikap tunduk, taat, dan menjadi anggota suatu kawanan. Agama merupakan cara membenci kehidupan dan ingin melarikan diri dari kehidupan menuju akhirat yang surgawi dan kekal.

Sebelumnya, orang percaya bahwa hidupnya memiliki tujuan. Namun, akan ada masanya agama tidak lagi berperan besar dalam kehidupan masyarakat secara umum. Kemerosotan keagamaan ini terlihat jelas pada abad ke-20 dan 21. Ini disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan yang memberikan jawaban-jawaban dari pertanyaan yang sebelumnya dijawab oleh agama walaupun jawaban yang diberikan oleh ilmu pengetahuan ini kejam dan tidak senyaman jawaban agama untuk didengarkan di telinga. Dan juga perasaan-perasaan yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan moral terkadang tidak cukup menerima jawaban absolut yang datang dari kepercayaan-kepercayaan. Banyak orang akan jatuh ke dalam keputusasaan karena curiga bahwa manusia tidak lain dari hewan yang tak bermakna di alam semesta yang juga tak bermakna, Kecurigaan ini mengantarkan seseorang pada keadaan nihilisme yang mempercayai segala sesuatu tidak memiliki arti atau tujuan untuk memberikan makna pada penderitaan seseorang. Seseorang menderita akan kehidupan tetapi tidak memiliki jawaban mengapa ia harus menderita seolah-olah semuanya sia-sia.

Dan Nietzsche memahami bahwa banyak orang akan jatuh ke dalam keputusasaan karena curiga bahwa kita bukan apa-apa, melainkan hewan yang tak bermakna di alam semesta yang tidak memiliki arti. Nietzsche memahami bahwa kecurigaan yang gelap ini akan mengantarkan pada keadaan Nihilisme. Seseorang akan menderita akan kehidupan yang dia miliki tapi tidak mempunyai jawaban mengapa dia merasakan semua itu.

Dalam karyanya "Thus Spoke Zarathustra", Nietzsche menggambarkan manusia akan direduksi pada keinginan dasar mereka dikarenakan jatuhnya nilai-nilai tradisional dan tidak ada yang menggantikannya., mencari kenyamanan dan menghindari ketidaknyamanan tanpa tujuan apapun dalam kehidupan, bertahan hidup untuk bertahan hidup. Manusia menjadi nihilis pasif, semua orang terkurung di atas kasurnya sendiri, semua orang menjadi pemalas. Nietzsche menyebutnya dengan "The Last Man".

Manusia terakhir tidak lagi memikirkan hal yang mendalam. Dia tidak lagi memiliki pemahaman atau penghargaan terhadap konsep-konsep mendalam seperti cinta, penciptaan, kerinduan, dan aspirasi yang tinggi. Dia tidak kagum terhadap dunia ataupun kehidupan. Manusia terakhir hidup dalam keadaan kepuasan yang dangkal dan tidak lagi mencari makna atau tujuan yang lebih tinggi dari kehidupan. Baginya, segala sesuatu ada begitu saja. Dia tidak bertanya-tanya. Dia tidak heran tentang apa pun. Dia tidak memiliki rasa penasaran. Segala sesuatu tampak ada tanpa alasan sama sekali. Dan jikapun ada alasan, ada arti dari semuanya, dia tidak peduli untuk mencaritahu tentangnya. Manusia terakhir tidak memiliki aspirasi dan ambisi. Mereka telah mencapai kebahagiaan dangkal dan tidak substansial, puas akan kenyamanan, keamanan, dan rutinitas. Mereka mementingkan kenyamanan dan keamanan di atas tantangan dan perjuangan. Dia menghindari kesulitan dan tantangan yang sebenarnya bisa memacu pertumbuhan dan perkembangan diri, menghindari risiko dan perjuangan yang diperlukan untuk mencapai potensi tertinggi mereka. Mereka sudah tidak memiliki motivasi, segala sesuatu bagi mereka terlalu banyak usaha, mereka bertahan hidup tapi tidak hidup. Dan menggangap semua manusia sama, tidak ada ruang untuk keunggulan, tidak ada tangga untuk naik ke atas. Ketika ada yang berbeda sedikit, mereka akan merundung dan menjatuhkannya. Manusia terakhir mengkhususkan diri bukan dalam penciptaan sesuatu, tidak kreatif, tetapi konsumtif. Mereka puas akan kenikmatan yang dangkal, mereka mengklaim telah menemukan kebahagiaan karena hidup paling nyaman dalam sejarah manusia. Mereka putus asa tapi tetap ingin menginginkan kepastian dalam hidup, yang membuat mereka memandang bahwa kehidupan tidak memiliki tujuan, makna, atau nilai. Karena kepercayaan bahwa tidak ada kepercayaan itu lebih stabil daripada mengatakan bahwa ada kepercayaan yang mungkin tidak pasti adanya. Mereka lebih memilih untuk menghilangkan harapan dan semangat karena lebih mudah daripada berharap dan mencari makna atau tujuan hidup. Manusia terakhir, adalah manusia yang menyukai kehampaan yang nyaman daripada kehidupan yang bernafas dan penuh dengan kemungkinan.

Lantas bagaimana agar manusia tidak terjatuh ke dalam nihilisme?

Menurut Fyodor Dostoevsky, memberi penawaran dengan kembali menuju jalan spiritual. Dia menjelaskan bahwa penderitaan sebagai salah atau aspek paling sering ditemukan dalam kehidupan tidak akan bisa dimengerti dengan keadaan nihilisme yang tidak menganut makna apapun dan dia menjelaskan untuk bisa melawan nihilisme kita harus kembali percaya dan melakukan hal yang baik. Tanpa agama, dunia akan jatuh ke dalam nihilisme yang bisa saja menghancurkan kehidupan dan dunia yang ada. Peradaban bisa saja menjadi kacau, tidak memiliki acuan yang mana tindakan dan perilaku yang baik dan yang mana yang tidak, para penduduk tidak akan memiliki tujuan hidup kecuali mencoba mencari kepuasaan sesaat. Dalam karyanya " The Brothers Karamazov", Dostoevsky menjelaskan dengan karakter Ilyusha yang memiliki keyakinan mendalam terhadap Tuhan dan kasih sayang terhadap manusia dia menerima misteri dari keberadaan Tuhan dan keadilannya dengan kerendahan hati dan baginya semua itu bukan mengenai pembuktian intelektual dan rasionalitas melainkan keyakinan batin cinta dan kasih sayang.

Menurut Sren Kierkegaard, manusia perlu melakukan leap of  faith atau lompatan iman, yakni percaya bahwa pengetahuan rasional ataupun empiris tidak akan pernah memberikan jawaban mengenai Tuhan ataupun makna hidup dan melompat dengan tetap percaya bahwa itu adalah jawabannya akan memberikan kepastian dan makna kembali. Ini bukan berarti bertindak secara irasional melainkan sebuah pengakuan bahwa akal manusia memiliki batas dan iman adalah satu-satunya jalan untuk menemukan jalan yang lebih tinggi. Dia menjelaskan bahwa ada tiga tahapan kehidupan dari manusia yang pertama itu tahap estetis di mana seseorang hidup hanya untuk kenikmatan dan pengalaman indrawi mencari kebahagiaan dalam kesenangan duniawi kedua adalah tahap etis di mana seseorang mulai mencari makna melalui tanggung jawab moral dan pengabdian kepada kewajiban etis dan yang terakhir tahap religius di mana seseorang mengakui keterbatasan moralitas manusia dan menemukan makna dalam hubungan pribadinya dengan Tuhan.

Menurut Nietzsche dalam karyanya "Will to Power", hancurnya nilai tradisional dan kepercayaan itu sebagai sesuatu yang mutlak dan mungkin tidak bisa lagi kembali ke sana. Sebaliknya, Nietzsche mendorong kita untuk menjadi bermensch, manusia lepas. Menurut Nietzche, bermensch mewaki   li tahapan evolusi manusia yang melampaui keterbatasan dan nilai-nilai tradisional. bermensch melibatkan ide bahwa manusia dapat melebihi dirinya sendiri, terutama dalam konteks moral dan spiritual. Nietzsche meragukan dan menolak moral konvensional yang diwariskan dari tradisi agama dan filsafat sebelumnya. bermensch tidak terikat oleh norma-norma moral yang diterima secara umum, melainkan menciptakan nilai-nilai baru  sesuai dengan kehendaknya sendiri. bermensch merupakan individu yang mampu mengambil kendali penuh atas dirinya, menciptakan makna sendiri, dan menjalani kehidupan dengan kreativitas. Ini melibatkan pembebasan dari norma-norma sosial dan budaya yang membatasi perkembangan manusia. bermensch memiliki kehendak untuk berdaya atau will to power, yaitu dorongan untuk mencapai potensi penuh dan menguasai diri serta kehidupannya sepenuhnya. Nietzsche memberi tahu kita untuk memiliki keinginan egois kita, dan bahwa aturan masyarakat adalah sesuatu yang perlu diatasi untuk mencapai kebenaran sejati dalam hidup kita. Nietzsche percaya bahwa setiap individu harus berada dalam proses. Jika kita iri pada orang lain, itu hanyalah tanda bahwa kita memang membutuhkannya untuk menjadi diri kita yang sebenarnya. kita bisa mencari pekerjaan yang menghasilkan lebih banyak uang dan juga yagn lainnya, Setiap orang mempunyai mimpinya masing-masing, dan jika kita menolak untuk mengakui keinginan tersebut, kita hanya akan membuat diri kita sengsara. Bahkan jika kita gagal mencapai tujuan kita, setidaknya kita merasa puas karena mengetahui bahwa kita telah mencoba. Nietzsche mengatakan bahwa jika seseorang berhasil mengatasi rintangan sekaligus menerima kegagalannya dengan lapang dada, maka ia telah menjadi bermensch. lebih baik tidak berhenti pada kehancuran nilai-nilai dan jatuh ke ketiadaan tetapi mencipta akan hal yang baru dari sana dan penciptaan Inilah yang disebut sebagai kuasa. Terhadap diri sendiri bermensch adalah manusia yang telah menerima bahwa nilai-nilai lama telah mati dan tidak berdiam diri di ketiadaan tersebut dia secara sadar menciptakan moralitas dan makna hidupnya sendiri dengan kepribadian tanpa campur tangan eksternal dan ini akan menjadi semacam kebebasan penuh dan menjalani kehidupan yang otentik. Menurut Nietzsche, manusia yang sudah mencapai bermensch dan memiliki will to power kalau saja mengetahui kehidupannya akan terus berulang-ulang dia akan dengan sadar mencintai tiap detik dari keseluruhan kehidupan tersebut bukan lari darinya. Nihilisme adalah jurang mengerikan yang menjatuhkan manusia dan manusia harus bangkit dari situ. Itulah singkatnya yang ingin diajak oleh Nietzsche, bukan meromantisasi jurang itu dan menjadikannya alat untuk mendorong keinginan egois kita sendiri terhadap orang lain yang nantinya membawa kehancuran yang sangat mengerikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun