Aku dihantar pulang dengan mobil patroli. Semua rencanaku hancur berantakan. Rencana A, membunuh dengan serangan kilat. Kalau rencana A gagal aku ditangkap, aku akan ditahan bersama perampok itu. Maka giliran rencana B, berkelahi sampai mati di dalam sel. Lama sekali aku merasa jengkel pada diriku sendiri karena gagal melenyapkan seseorang setelah dia mengancam akan membunuhku. Apa daya. Sekarang rencana C dan D. Mungkin karena kurang perhitungan aku baru berhasil pada rencana E. Perampok itu tewas dihakimi massa di depan pasar Ngasem setelah tertangkap mencopet. Polisi menyita dompetku sebagai barang bukti kasus pencopetan itu.
Untuk apa aku berkeras merancang dan mewujudkan rencana-rencana itu? Balas dendam? Naluri manusia, akan dengan sendirinya menuntun setiap orang melakukan tindakan untuk memperkecil atau melenyapkan setiap jenis ancaman pada dirinya. Dengan segala cara. Maaf saja kalau caraku seperti itu. Sependek pengetahuanku tidak ada cara lain lebih efektif, ketika itu.
Aku menuliskan pengalaman ini sebagai peringatan pada orang-orang agar tidak mengintimidasi anak-anakku. Mereka anak-anakku, mewarisi sifat-sifat bawaan genetik dalam diriku. Mereka juga punya beragam media dan kesempatan luas mengembangkan sifat warisanku itu menjadi lebih baik dariku. Jadi, jangan pernah mengancam anak-anakku. Sekali saja seseorang mengintimidasi anak-anakku, minimal dia akan kerepotan seumur hidupnya. Atau nasibnya berakhir seperti copet di depan pasar Ngasem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H