Mohon tunggu...
Ipung Jogjangler
Ipung Jogjangler Mohon Tunggu... Wiraswasta - Fasilitator ketangguhan bencana dan pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat

menikmati hidup dan merayakan cinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Copet Pasar Ngasem

4 Juli 2015   14:06 Diperbarui: 4 Juli 2015   14:18 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Intimidasi atau pengancaman pada anak, apa pun bentuknya, akan direkam dalam memori jangka panjang si anak. Merasuk ke dalam jiwanya. Membangkitkannya sebagai monster saat ia dewasa.

Dor...dor...dor...kudengar tiga kali letusan di depan bank Bapindo di selatan tugu. Salah satu letusan berasal dari lelaki berbadan tinggi besar berjalan di samping kananku. Tepat di depan pintu bank kulihat seseorang jatuh terlungkup. Sedetik kemudian seorang laki-laki berjaket hitam, memakai helm, berlari menyambar tas dari tangan nasabah malang itu, lalu kabur membonceng sepeda motor ke selatan ke arah Malioboro.

Polisi, satpam, karyawan bank dan nasabah berhamburan keluar dari gedung bank. Lelaki tinggi besar di kananku menyeret tanganku ke sudut kios bensin samping bank. Dia menunjukkan pistolnya terselip di balik jaket, menatapku dalam-dalam, mencekik leherku, lalu berkata lirih tegas, "Kamu diam atau kubunuh?" Aku mengangguk dan dia melepaskan cekikannya.

"Ini pak. Ini rampoknya. Dia bawa pistol!" Aku berlari ke arah kerumunan sambil tanganku menunjuk ke arah si tinggi besar. Teriakanku mengundang perhatian semua orang. Dor...dor.... Dua kali letusan dari arah belakangku menyebabkan pria tinggi besar itu terpental tepat pada saat dia akan mencabut pistol dari balik jaketnya. "Terimakasih," kata polisi dari belakangku. "Ya, pak. Tapi telinga saya berdenging," jawabku. Pistol polisi itu meletus beberapa senti meter dari telingaku.

Lima jam di kantor polisi Ngupasan didata dan ditanyai ini itu. Rencana main catur dan mengunjungi perpustakaan KR hari itu batal. Main catur dan baca buku jadi kegiatan liburan menyenangkan ketika itu. Siapa sangka rencana indah berantakan gara-gara peristiwa bodoh. Bagian paling menyebalkan dari peristiwa itu adalah seseorang telah mengancam akan membunuhku. Bapakku saja tidak pernah mengancamku.

Sehari berlalu, seorang polisi bersama pejabat bank mengunjungiku di rumah. Mereka membawa sekardus besar hadiah. "Silakan dibuka. Ini ucapan terimakasih kami." Kata pejabat bank. Kubuka kardusnya. Sebuah papan catur kecil bermagnet merek Rigs. Ini papan catur impianku. Dua buah novel Huckleberry Finn dan enam buah novel Rowald Dahl. Aku berencana membeli novel-novel itu setelah tabunganku cukup. Terakhir, sekotak hot wheel beragam model. Ahhh....Itu mainan mobil-mobilan idaman semua anak seusiaku. Ya, ketika itu aku masih kelas satu SMP, sedang menikmati liburan semester pertama. Tidak butuh lama mencari tahu bagaimana bisa mereka memiih hadiah. Sudah pasti mereka bertanya pada ibuku.

Sebelum pergi mereka menjelaskan dua pelaku perampokan sudah tertangkap. Seorang lainnya masih dirawat di rumah sakit karena luka tembak. Setelah sembuh dia akan ditahan dan dipenjara cukup lama. Aku diminta tenang. Tenang? Bagaimana bisa aku tenang setelah seseorang mengancam membunuhku.

Sembilan tahun kemudian menonton film di bioskop di Borobudur Plaza di jalan Magelang. Saat menunggu pintu bioskop dibuka aku melihat seseorang dengan wajah sangat ku kenal. Terlihat sedikit lebih tua. Badannya masih tinggi besar tetapi ukuran tubuhku sudah melebihinya. Berpakaian serba hitam dia melintas dihadapanku lalu berbelok menuju ruangan semacam kantor. Meski sudah delapan tahun, masih kuingat wajahnya, tatapan matanya, kata-kata ancamannya. Mungkin karena itu peristiwa emosional maka setiap potong informasi tersimpan sangat baik dalam ingatan jangka panjangku.

Menurut informasi dari penjaga pintu bioskop dia itu anggota keamanan diskotik Crazy Hourse. Diskotik itu terletak di lantai bawah gedung tepat di bawah bioskop. Butuh waktu seminggu untuk memelajari dan menyusun rencana.

Kutinju kerongkongannya hingga dia terpental ke belakang membentur pintu diskotik. Dia tidak siap dengan serangan mendadak. Anggota keamanan lainnya berusaha menghentikan serangan dengan mendorongku. Telat. Siku tanganku lebih cepat menghantam pelipisnya. Kurasakan benda dingin menempel di pelipis kiriku tepat saat aku akan mencabut sangkur. "Angkat tanganmu!" Seorang polisi menyamar menghentikan aksiku.

Kembali ke kantor polisi Ngupasan. Masuk ke ruangan sama dan duduk di kursi sama dengan ketika aku diperiksa sebagai saksi kasus perampokan sembilan tahun lalu. Bedanya, kali ini tanganku diborgol. Setelah didata, polisi menghentikan proses. Mereka justru sibuk membaca berkas kasus perampokan sembilan tahun lalu. Namaku disebut-sebut ada dalam berkas. Borgol tanganku dilepas. "Dik Sigit, ada apa lagi?" Kata seorang polisi senior saat muncul dari pintu. Ya, aku ingat polisi ini bersama pejabat bank membawa hadiah ke rumahku.

Aku dihantar pulang dengan mobil patroli. Semua rencanaku hancur berantakan. Rencana A, membunuh dengan serangan kilat. Kalau rencana A gagal aku ditangkap, aku akan ditahan bersama perampok itu. Maka giliran rencana B, berkelahi sampai mati di dalam sel. Lama sekali aku merasa jengkel pada diriku sendiri karena gagal melenyapkan seseorang setelah dia mengancam akan membunuhku. Apa daya. Sekarang rencana C dan D. Mungkin karena kurang perhitungan aku baru berhasil pada rencana E. Perampok itu tewas dihakimi massa di depan pasar Ngasem setelah tertangkap mencopet. Polisi menyita dompetku sebagai barang bukti kasus pencopetan itu.

Untuk apa aku berkeras merancang dan mewujudkan rencana-rencana itu? Balas dendam? Naluri manusia, akan dengan sendirinya menuntun setiap orang melakukan tindakan untuk memperkecil atau melenyapkan setiap jenis ancaman pada dirinya. Dengan segala cara. Maaf saja kalau caraku seperti itu. Sependek pengetahuanku tidak ada cara lain lebih efektif, ketika itu.

Aku menuliskan pengalaman ini sebagai peringatan pada orang-orang agar tidak mengintimidasi anak-anakku. Mereka anak-anakku, mewarisi sifat-sifat bawaan genetik dalam diriku. Mereka juga punya beragam media dan kesempatan luas mengembangkan sifat warisanku itu menjadi lebih baik dariku. Jadi, jangan pernah mengancam anak-anakku. Sekali saja seseorang mengintimidasi anak-anakku, minimal dia akan kerepotan seumur hidupnya. Atau nasibnya berakhir seperti copet di depan pasar Ngasem.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun