Jika kita mau memahami seorang anak bangsa sendiri bernama Basuki Tjahaja Purnama alias  Ahok  dalam karakteristiknya sebagai manusia yang intonasi jiwa keperangaiannya sangat keras tanpa  tedeng aling-aling, non kompromis dan menganggap semua dihadapannya harus tunduk dan takluk pada intonasi jiwa keperangaiannya, maka segalanya akan clear dalam memahami setiap kasus yang berkaitan dengan Ahok.Â
Boleh jadi kasus penistaan agama yang pernah menjerat anak bangsa bernama Ahok hingga kasus privasi perceraian Ahok dengan Veronica Tan juga berkaitan dengan peran intonasi jiwa keperangaiannya hingga siapa saja akan dihantamnya melalui intonasi jiwa keperangaiannya jika dirasa tidak sesuai dengan kehendak seorang Ahok.Â
Padahal manusia dalam berinteraksi sosial dibutuhkan intonasi pemahaman yang dapat dipahami sehingga etika keterpaduan dalam berinteraksi  sosial tidak mengalami kegagalan. Intonasi pemahaman untuk memadukan etika berinteraksi sosial inilah yang sulit dikemas secara cerdas oleh Ahok.Â
Intonasi penyampaian bahasa jika tidak dikemas secara cerdas melalui ritme etika keterpaduan dalam berinteraksi sosial, maka maksud baik yang tersirat justru akan melahirkan kesalahpahaman menjadi maksud tidak baik bagi yang menerimanya. Kondisi inilah yang sulit disadari oleh Ahok.Â
Tapi setelah sekian lama Ahok dalam kesendiriannya selama dua tahun di dalam ruang dinding sel penjaranya, kemungkinan Ahok sudah melakukan kontemplasi dan intropeksi terdalam sehingga diharapkan ke depan dia tidak akan lagi mengulangi kesalahan krusial tempo hari betapa dalam berinteraksi sosial dibutuhkan ritme intonasi untuk mencapai etika keterpaduan dalam berinteraksi sosial.Â
Segudang maksud kebaikan yang tersirat pada diri seorang Ahok akan menjadi sia-sia jika ritme intonasinya untuk mencapai etika keterpaduan dalam berinteraksi sosial tidak pernah mendapat perhatian. Ibarat maksud baik ingin memberikan sepotong roti kepada seorang yang lapar, tapi jika methode pemberian rotinya disampaikan secara santun melalui ke dua tangan yang memberi kepada ke dua tangan yang menerimanya, maka seorang yang lapar akan dapat memahaminya, tapi sebaliknya intonasi pemahamannya akan terasa berbeda jika sepotong roti itu diberikan dengan cara dilemparkan dari yang memiliki roti kepada orang lapar yang membutuhkan roti.Â
Saya yakin pidato Ahok di kepulauan Seribu tidak memiliki substansi hukum jika Ahok tidak melibatkan intonasi arogansi keperangaiannya dalam setiap intonasi retorika bahasanya yang disampaikan ke ranah publik. Boleh jadi, perceraian Ahok dengan Vero juga diakibatkan oleh intonasi arogansi keperangaian seorang Ahok yang dirasa kurang pas dalam pemahaman seorang Vero.Â
Dalam ranah privasi perceraian Ahok kepada Vero, maka kedua belah pihak harus dipahami dalam proporsinya secara adil. Ketika saya harus memahaminya, maka saya akan memahami Vero yang dengan lapang dapat menerima talak dari Ahok. Jika saya seorang Vero, pasti saya juga akan bernasib sama dengan Vero.Â
Tegasnya, hanya Ahok yang bisa menundukkan Ahok, bahkan boleh jadi Ahok sendiri tidak kuasa menundukkan intonasi arogansi keperangai jiwanya yang sekeras batu karang. Apa lagi Vero yang konon dulu sangat dicintai oleh Ahok selama puluhan tahun akhirnya juga menyerah tidak kuasa untuk dapat menundukkan intonasi jiwa keperangaian seorang Ahok yang non romantis.Â
Ketika Vero ditalak oleh Ahok, ada dua catatan krusial yang menyelinab di pikiran saya. Pertama, apa kesalahan fatal vero sehingga harus ditalak? Bukankah sampai detik ini vero masih sendiri meskipun sudah ditalak oleh Ahok? Bukankah yang terjadi Ahok yang ingin mau menikah lagi? Boleh jadi  Vero ditalak oleh Ahok karena Ahok very jealous akibat dari intonasi arogansi keperengaiannya yang tanpa tendeng aling-aling, non kompromis dan melupakan hukum gereja sehingga harus memberikan talak kepada Vero? Boleh jadi Vero ditalak karena Ahok ingin mau menikah lagi? Wallahu A'lam Bishawab.Â
Kedua, jika Ahok mau menikah lagi, maka keinginannya itu dalam perspektif Hak Azasi Manusia seorang anak bangsa bernama Ahok dapat saya pahami. Tapi perspektif HAM ini akan menjadi kendala bagi seorang Ahok jika niatnya untuk menikah lagi dilakukan dalam ritual hukum gereja. Sebab dalam ritual hukum gereja, pernikahan hanya dilakukan satu kali saja dalam hidup seorang manusia Kristiani kecuali kalau di antara suami istri ada salah satu yang meninggal dunia atau perceraian mati.Â