Di sini lah Gandhi memulai gerakan Satyagraha-sebuah gerakan perlawanan anti kekerasan (Ahimsa) melalui kekuatan massa yang tidak mau tunduk pada kekuasaan (Civil Disobedience), atau singkatnya Perang/Protes Tanpa Kekerasan. Gandhi dengan penuh kepercayaan diri tinggi memimpin pemogokan massal para pekerja di seluruh Afsel walaupun ditangkap berkali-kali selama 7-8 tahun pergerakan ini. Tapi Gandhi sempat menolak berafliasi dengan serikat pekerja perusahaan kereta api yang melakukan protes dengan membakar stasium kereta api di mana mereka bekerja karena kekerasan bukanlah Satyagraha.
Usaha Gandhi berhasil memaksa Jendral Jan Christiaan Smuts bernegosiasi mencari kompromi. Kepercayaan massa pada kepemimpinan Gandhi lahir dari keharmonisan dan kesinkronan antara pikiran dan tindakan Gandhi sendiri. Massa pendukung melihat bagaimana ucapan Gandhi di podium selaras dengan perbuatan Gandhi yang turun sendiri ke “grass root” untuk memimpin pergerakan yang dirinya sendiri yakini. Kemanusiaan yang sering dilontarkan Gandhi justru tersentuh ketika dirinya bertugas sebagai tim medis dalam perang antara pemberontak dan pemerintahan Afsel dan menyaksikan kekejian para penguasa (majikan) kulit putih pada budak-budak berkulit hitam terluka yang dicambuk dan dibiarkan tak terawat selama beberapa hari.
Keberanian Gandhi pun luar biasa. Dirinya berani menolak perlakuan semena-mena seorang kusir kereta kuda yang ditumpanginya. Hanya karena ingin merokok, kusir tersebut menyuruh Gandhi yang mempunyai tiket sebagai penumpang untuk pindah ke bagian bagasi kereta hanya karena Gandhi seorang berkulit berwarna. Ketika Gandhi menolak, kusir tersebut memukuli Gandhi. Demikian juga ketika Gandhi menolak himbauan seorang hakim untuk melepaskan sorban kepalanya ketika dirinya menjadi “tamu” pada sebuah pengadilan di Afsel. Gandhi lebih memilih keluar dari pengadilan daripada haknya diinjak-injak.
Tapi keberanian Gandhi yang paling utama adalah ketika Gandhi berani mempercayai lawan politiknya, Jendral Smuts biarpun ada kemungkinan besar Jend. Smuts sedang merancang sebuah perangkap politik pada dirinya. Ternyata memang Gandhi masuk perangkap politik itu, Gandhi pun dimusuhi dan bahkan dipukuli oleh teman-teman politiknya karena ada gosip yang beredar bahwa Gandhi telah menerima suap sebesar 15,000,- poundsterling. Tapi Gandhi menerima semua kegagalan itu dengan hati yang besar dan tanpa dendam.
Tapi yang terbesar dalam diri Gandhi, seperti yang dijelaskan Bapak Anand Krisna, adalah kerelaannya untuk berkorban (His willingness to sacrifice) demi sebuah perjuangan dan komunitasnya. Segala sesuatu personal dan miliknya dipertaruhkan Gandhi demi keyakinannya dan perjuangannya demi kemanusiaan, termasuk hubungannya yang buruk dengan keluarga terdekatnya, seperti istri dan anak-anaknya.
Dalam film tsb diceritakan bagaimana kecewanya sang istri, Kasturbai, pada Gandhi ketika Gandhi menolak membayar sejumlah kecil denda agar bisa keluar dari penjara dan menjenguk istrinya yang sedang sakit keras. Dedikasi Gandhi untuk hidup sederhana juga telah “merampas” kebahagiaan istrinya, seperti penolakan Gandhi atas perhiasan yang dihadiahkan komunitas India di Afsel pada istrinya. Bahkan dalam rangka memprotes kebijakan pemerintah Afsel tentang pernikahan yang tidak diakui bila tidak dilaksanakan secara kristen, Gandhi pun mengharapkan istrinya untuk memimpin protes dan masuk penjara.
Tapi dalam suatu artikel yang dapat dibaca di Internet, Gandhi pernah berkata bahwa istrinya, Kasturbai, adalah salah seorang guru terbaiknya. Kasturbai telah mengajarkan Gandhi bagaimana memenangkan hati orang lain dengan cinta.
Hubungan Gandhi dengan anak sulungnya, Harilal Gandhi pun menjadi renggang akibat kepercayaan pada prinsip-prinsip yang dianutnya. Gandhi menolak berkali-kali permohonan Harilal untuk membiayai sekolahnya di Inggris dalam rangka meraih status sosial (dan ekonomi) yang lebih baik. Gandhi malah membiayai keponakan dan pekerjanya dari Penerbitan Indian Opinion untuk bersekolah di London daripada anaknya sendiri. Bapak Anand Krishna pun menambahkan bahwa pada saat kematian Gandhi, 4 anak-anak Gandhi tidak ada yang datang, kecuali Harilal Gandhi yang datang hanya untuk meludahi makam bapaknya di depan para pelayat dan wartawan.
Dalam rangka terbebaskan dari himpitan ekonomi dan menghindari tekanan politik lawan-lawan politiknya serta keinginan untuk hidup mandiri, Gandhi pun mendirikan 2 lahan pertanian bagi komunitas India di Afsel, Phoenix Farm dekat kota Durban dan kemudian Tolstoy Farm dekat kota Johannesburg, Afsel. Kehidupan mandiri ini membuat Gandhi mampu mempertahankan prinsip-prinsipnya secara ideal tanpa harus berkompromi dengan persoalan ekonomi untuk menyambung hidup sehari-hari. Pak Krishna pun menjelaskan bahwa tujuan awal pendirian Penerbitan PT. One Earth Media dan L’Ayurveda pun sebenarnya mencontoh apa yang telah dilakukan Gandhi.
Dalam film ini, jelas sekali terlihat bahwa Nasionalisme yang diusung Gandhi berakar dari Rasa Kemanusiaan yang terpancar dari dalam dirinya. Nasionalisme Gandhi itu tidak lahir dari rahim ego yang kecewa atau keinginan untuk tidak kalah dari orang/bangsa lain. Nasionalisme Gandhi jelas berbeda dengan Nasionalisme barat yang bersumber dari kepentingan individual untuk meraih keuntungan atau peningkatan ekonomi maupun status sosial seperti yang terjadi pada Revolusi Perancis.
Film yang dibiayai bersama pemerintah Afsel dan India ini ditutup dengan adegan di mana Gandhi mencukur habis rambut di kepalanya dan memutuskan memakai jubah dari sehelai kain yang sederhana sebelum kembali ke India sebagai pertanda penghormatan dirinya pada orang-orang yang telah berkorban bagi dirinya selama memperjuangkan hak-hak sipil komunitas India di Afsel. Apa yang telah dilakukan Gandhi dengan versi Nasionalisme-nya telah menginspirasi banyak tokoh dunia, seperti Martin Luther King, Jr, Dalai Lama, Lech Walesa, Cesar Chavez, Aung San Suu Kyi, Benigno Aquino Jr., Desmond Tutu, dan Nelson Mandela untuk berjuang mempertahankan hak-hak sipil seorang individu dari penindasan individu lain tanpa melakukan aksi kekerasan sebagai bentuk perlawanan.