Mohon tunggu...
Joe Frigerio Wassa
Joe Frigerio Wassa Mohon Tunggu... Seniman - Penyuka Sepakbola

Suka Musik dan Olahraga serta jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Cinta Sahabat Putih Abu

9 Desember 2024   12:37 Diperbarui: 9 Desember 2024   13:43 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dua orang sahabat Paula dan Aziz tampak sedang menghabiskan waktu bersama di sebuah taman yang rindang di tengah sekolah mereka. Menikmati alunan angin sepoi yang sungguh menyejukkan. Keduanya tampak bersenda gurau di bangku panjang yang terletak tepat dibawah rindang pohon besar depan kelas. Disaat teman-teman mereka sedang menikmati suasana istirahat siang. Tampak Aziz dan Paula begitu menikmati suasana romansa penuh kegembiraan.

Sebagai teman putih abu, keduanya memang dikenal merupakan sahabat yang sering menghabiskan waktu bersama dan saling mendukung satu sama lain. Banyak moment yang mereka ciptakan untuk kegembiraan bersama. Kebersamaan dan keakraban mereka sudah diketahui oleh seisi sekolah terutama teman-teman se-angkatan mereka. 

Seiring waktu, kebersamaan mereka harus terpisah karena telah menamatkan sekolah. Mereka terpisah. Paula memilih melanjutkan pendidikan ke Bandung sedangkan Aziz memilih melanjutkan pendidikan di Ibukota Jakarta.  Lama mereka tak saling jumpa karena tenggelam dengan kesibukan mereka masing-masing. Terakhir keduanya bertemu 2 tahun silam di pendopo Kapela tua sekolah mereka. Sesaat sebelum benar-benar meninggalkan sekolah penuh kenangan itu. Kala itu, Aziz cuma bisa menatap Paula tanpa mampu berkata-kata demikian pula Paula. Keduanya larut dalam kesedihan yang mendalam karena harus berpisah. Airmata perpisahan bercampur dengan sukacita atas kelulusan mereka terbingkai dalam satu memory.   

Lama sudah mereka tak saling jumpa. Hingga suatu waktu Aziz mendapatkan kabar dan nomor telepon Paula. Tanpa menunggu lama, Aziz segera menghubungi Paula. Keduanya terlibat percakapan yang erat saling melepas rindu setelah terpisah cukup lama. Percakapan itu membawa keduanya terus larut dalam percakapan- percakapan lanjutan berkisar memory indah semasa SMA dan cerita aktifitas mereka sebagai mahasiswa serta mimpi-mimpi mereka.

Lambat laun, Aziz merasakan perasaannya kepada Paula telah berubah menjadi lebih dari sekedar sahabat. Aziz merasakan kehampaan bila sehari saja tak mendengar suara Paula. Bahkan Aziz sering bermimpi tentang Paula. Tentu saja mimpi tentang kebersamaan yang indah. "Akh...apakah yang sedang kurasakan ini? Tidak. Mengapa wajahnya senantiasa menghantui hari-hariku?" gumam Aziz mencoba mengusir perasaan yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Aziz larut dalam kebimbangan untuk jujur mengatakan kepada Paula atau menyimpan perkara itu sendiri.

Suatu hari, Aziz yang juga mengisi waktu dengan berjualan koran di Gereja-Gereja di Ibukota tanpa sengaja bertemu dengan salah seorang sahabat terbaiknya di bangku SMA, Mario yang kala itu kebetulan sedang liburan di Jakarta. Keduanya lantas mengatur pertemuan lebih lanjut di kos-kosan Aziz dengan ngobrol panjang lebar selepas bangku SMA diwarnai canda tawa dan senda gurau sebagai dua sahabat putih abu yang lama tak bersua. Tanpa terasa sudah larut malam bahkan keduanya masih bersemangat padahal waktu telah menunjukkan pukul 04. 00 dinihari. 

Aziz yang sedang membutuhkan teman curhat lantas menceritakan apa yang ia rasakan bahkan sejak duduk di bangku SMA ia mengakui bahwa sudah merasakan getaran aneh kepada Paula namun ia selalu mencoba meredam dan memendamnya. Aziz minta pendapat Mario apakah ia harus terus memendamnya ataukah ia harus mengungkapkan perasaannya. Maklum, Aziz belum sekali pun pernah berpacaran sehingga ia tak memiliki cukup keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Kebetulan yang tidak sekedar kebetulan karena Mario, sejak SMA memang dikenal sering menjadi mentor serta pemberi solusi terbaik bagi teman-temannya terutama yang berkaitan dengan cara mengungkapkan perasaan ke lawan jenis. Mario, teman curhat terbaik dan banyak kali apa yang dikatakan Mario dipraktikan teman-temannya dan berhasil. 

Atas saran Mario serta tips yang diberikannya, Aziz yang gugup berhasil percaya diri dan memantapkan hati untuk mengungkapkan perasaan yang ia rasakan kepada Paula. Aziz lantas memberanikan diri untuk menelpon Paula. Ia tahu bahwa ia tak bisa selamanya memendam perasaan itu. Ia sadar bahwa ia tak mampu memainkan kata-kata puitis namun ia juga tahu bahwa dengan kata-kata sederhana penuh makna siapa tahu mampu menaklukan hati Paula, sahabat sekaligus gadis pujaan hatinya. 

"Hallo...," suara Paula lembut di ujung telpon. Aziz tampak menghela napas dalam dengan wajah tegang. "Iya...hall....hallllo..," jawab Aziz sedikit terbata-bata. 

"Eh...Ziz gimana?" sambut Paula.

"Paula," ucap Aziz dengan hati yang berdebar, "sebenarnya Aku ingin mengatakan sesuatu yang selama ini kurasakan. Perasaanku, entahlah...semoga kata-kata yang kusampaikan dapat mencapai tempat yang dalam di hatimu."

Paula menghela napas panjang sembari mendengarkan dengan penuh perhatian, perasaan campur aduk antara keingintahuan dan ketakutan dalam hatinya.

Aziz memulai, suaranya lembut dan penuh emosi, "Dalam setiap nada suaramu, aku merasakan keteduhan dalam hatiku. Dalam setiap tatapan dan senyummu, aku merasakan getaran cinta yang membawaku melintasi indahnya dunia. Namun, aku juga paham bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Tetapi aku dengan terpaksa harus mengungkapkan bahwa selama ini aku menyimpan perasaan yang berbeda untukmu Paula. Aku cinta kamu melebihi cinta sebagai seorang sahabat." 

Paula terdiam. Ia merasa terhormat atas ungkapan cinta yang puitis dan tulus dari Aziz. Namun, Paula juga merasa bingung dan tidak yakin tentang perasaannya sendiri. Sesaat, keduanya larut dalam keheningan. Keheningan yang hanya dapat dimengerti oleh dua anak manusia.

Setelah beberapa saat, Paula akhirnya berkata," Aziz, kata-katamu telah menyentuh hatiku dengan kedalaman yang sulit diungkapkan. Namun, aku masih perlu waktu untuk memahami perasaanku sendiri. Aku tidak bisa memberikan jawaban sekarang, tetapi ketahuilah bahwa cintamu...." Paula tak melanjutkan ucapannya.

Aziz tersenyum pahit seperti baru selesai menelan pil kina dalam jumlah banyak sekaligus. Ia mengangguk dan mencoba memahami bahwa cinta memang tidak bisa dipaksakan. Menerima jawaban Paula dengan penuh pengertian. 

Dalam kesedihan yang dalam, Aziz cuma bisa bilang,"Aku hanya ingin menggantungkan perasaanku di udara, tanpa harapan dan tanpa penilaian. Biarkan waktu menjadi saksi dan membawa jalanku dengan cinta yang memenuhi kalbuku."

"Terkadang, menunggu dan memahami diri sendiri adalah langkah yang diperlukan untuk mencapai kejernihan dalam perasaan kita," sahut Paula pelan.

Tut....tut....tut....telepon malam itu menjadi saksi bisu peristiwa cinta yang mekar diantara dua anak manusia yang bersahabat sejak bangku putih abu. 

Beberapa tahun kemudian, keduanya bertemu kembali di Kota Karang. Aziz masih membawa bara cinta dalam dada namun Paula telah menjadi istri dari lelaki pilihannya. Aziz dengan rasa cintanya tumbuh menjadi lelaki yang lebih kuat. Mereka membiarkan waktu menjadi saksi atas jalan yang akan diambil oleh perasaan mereka, tanpa memaksakan apapun.

"Cinta itu putih. Kalau pun abu maka cinta itu hanya belum menemui kepastian," tulis Ziz dalam buku hariannya saat hendak pulang dari Kota Karang kembali ke Jakarta.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun