"Paula," ucap Aziz dengan hati yang berdebar, "sebenarnya Aku ingin mengatakan sesuatu yang selama ini kurasakan. Perasaanku, entahlah...semoga kata-kata yang kusampaikan dapat mencapai tempat yang dalam di hatimu."
Paula menghela napas panjang sembari mendengarkan dengan penuh perhatian, perasaan campur aduk antara keingintahuan dan ketakutan dalam hatinya.
Aziz memulai, suaranya lembut dan penuh emosi, "Dalam setiap nada suaramu, aku merasakan keteduhan dalam hatiku. Dalam setiap tatapan dan senyummu, aku merasakan getaran cinta yang membawaku melintasi indahnya dunia. Namun, aku juga paham bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Tetapi aku dengan terpaksa harus mengungkapkan bahwa selama ini aku menyimpan perasaan yang berbeda untukmu Paula. Aku cinta kamu melebihi cinta sebagai seorang sahabat."Â
Paula terdiam. Ia merasa terhormat atas ungkapan cinta yang puitis dan tulus dari Aziz. Namun, Paula juga merasa bingung dan tidak yakin tentang perasaannya sendiri. Sesaat, keduanya larut dalam keheningan. Keheningan yang hanya dapat dimengerti oleh dua anak manusia.
Setelah beberapa saat, Paula akhirnya berkata," Aziz, kata-katamu telah menyentuh hatiku dengan kedalaman yang sulit diungkapkan. Namun, aku masih perlu waktu untuk memahami perasaanku sendiri. Aku tidak bisa memberikan jawaban sekarang, tetapi ketahuilah bahwa cintamu...." Paula tak melanjutkan ucapannya.
Aziz tersenyum pahit seperti baru selesai menelan pil kina dalam jumlah banyak sekaligus. Ia mengangguk dan mencoba memahami bahwa cinta memang tidak bisa dipaksakan. Menerima jawaban Paula dengan penuh pengertian.Â
Dalam kesedihan yang dalam, Aziz cuma bisa bilang,"Aku hanya ingin menggantungkan perasaanku di udara, tanpa harapan dan tanpa penilaian. Biarkan waktu menjadi saksi dan membawa jalanku dengan cinta yang memenuhi kalbuku."
"Terkadang, menunggu dan memahami diri sendiri adalah langkah yang diperlukan untuk mencapai kejernihan dalam perasaan kita," sahut Paula pelan.
Tut....tut....tut....telepon malam itu menjadi saksi bisu peristiwa cinta yang mekar diantara dua anak manusia yang bersahabat sejak bangku putih abu.Â
Beberapa tahun kemudian, keduanya bertemu kembali di Kota Karang. Aziz masih membawa bara cinta dalam dada namun Paula telah menjadi istri dari lelaki pilihannya. Aziz dengan rasa cintanya tumbuh menjadi lelaki yang lebih kuat. Mereka membiarkan waktu menjadi saksi atas jalan yang akan diambil oleh perasaan mereka, tanpa memaksakan apapun.
"Cinta itu putih. Kalau pun abu maka cinta itu hanya belum menemui kepastian," tulis Ziz dalam buku hariannya saat hendak pulang dari Kota Karang kembali ke Jakarta. Â Â