Sejak kecil telah menjadi anak semi broken home karena hidup dengan ayah tiri yang sangat keras (wataknya) sama seperti dirinya. Perdebatan keras kerap kali terjadi diantara mereka berdua dari hal yang sepele hingga sepele tingkat dua (agak penting) tetap ia tau posisinya sebagai seorang anak. Jadi, mengalah adalah jalan keluar dan mengalah adalah bakatnya.
Badan sudah wangi, diri sudah siap, ia bergegas berangkat menuju rumah utamanya, kampuslah tempatnya. Menunggangi kuda besi yang diberi nama Pinky (motor jadul berwarna merah muda). Jeje muda berkuliah di salah satu Universitas swasta yang ada di Ibu kota.Â
Berpamitan dan bergegas berangkat meninggalkan tempat yang kadang ia anggap neraka kadang surga, labil memang. Tepat hari ini ada gerakan ala mahasiswa untuk turun ke jalan dan sebelum berangkat ia telah diwanti-wanti oleh ibunya untuk jangan demo dan selesaikan skripsi.Â
Skripsi adalah musuhnya karena ia beranggapan itu hanyalah setumpukkan kertas tak berarti, rasa malas selalu mengalahkannya akhirnya skripsi pun terbengkalai.
Sampai tujuan ia bergegas untuk bergabung bersama kawannya yang sudah berbaris, menandakan siap untuk beraksi membela yang harus dibela untuk kemaslahatan bersama.Â
Berjam-jam dihabiskan untuk melantangkan nyanyian nasional, orasi dengan antusiasme tinggi, menyuarakan ketidakadilan dengan harapan keberpihakan pada yang tertindas hingga larut malam.Â
Chaos terjadi, yang beberapa makhluk cari. Demo untuk chaos adalah hal yang lumrah karena gelora pemuda sukanya bentrok adu jotos untuk menunjukkan kekuatan.Â
Dini hari agenda itu selesai, Jeje muda bergegas pulang setelah smartphonenya berdering 63x panggilan dari ibunda tercinta. Kaget, takut yang membuat dirinya menerka-nerka apa yang akan terjadi saat ia pulang, pulang menuju (neraka) saat ini.Â
Benar saja, tepat setelah membuka pintu sudah ada dua orang penunggu rumah berdiri melotot. Orasi versi kolot pun keluar dari mulut keduanya. Satu pun tak ada yang didengarkan. "kamu itu manusia gatau aturan, paling setelah lulus kamu jadi tukang pulsa atau penjual kopi keliling atau bahkan satpam." Kata yang keluar dari mulut ayah tirinya itu yang ia coba keluarkan dari kuping kiri tapi membekas dihati.Â
Amarah memuncak tapi kembali lagi mengalah dan sabar merupakan hal yang sangat ia kuasai. Selesai sudah petuah yang diberikan, bergegas ia membersihkan diri dan yang terpenting telinga lalu tertelan selimut kalbu.
Tertekan untuk menyelesaikan studi ditambah sebuah kata merendahkan dirinya membuat ia serius untuk menyudahi semuanya kecuali hidupnya. Dua bulan setelah malam itu secara sah Jeje muda telah menyelesaikan studinya meninggalkan kesenangan, kesedihan, tawa, dan bangga.Â