Gagasan ini nampaknya tidak mungkin terjadi karena hasil karya AI memiliki banyak kesalahan yang aneh dan tidak alami. Kesalahan ini dapat ditangkap dengan cepat dan umumnya tidak akan diinginkan manusia. Hanyalah manusia yang dapat menggambarkan keinginan perusahaan dengan tepat menggunakan teknik dan keunikan sendiri. Tetapi, fakta bahwa skenario ini merupakan suatu kemungkinan sangat menakuti dan memanaskan artis.
Jika semakin banyak perusahaan yang menggunakan seni AI, maka dapat diduga bahwa perusahaan itu tidak menghargai karya seni manusia dan lebih mementingkan keuntungan finansial yang bisa didapatkan. Jika perusahaan besar mulai menggunakan dan mendukung seni AI pula, maka bidang seni dua dimensi dapat "mati" di muka masyarakat awam.
Usaha yang dilakukan para artis untuk menyebarkan dan mengembangkan seni dengan kedua tangan mereka bisa saja menjadi sia-sia. Salah satu bentuk ekspresi manusia yang sudah tercatat sebelum benua dinamakan dan kota didirikan akan berubah untuk selamanya.
Apakah Sebaiknya Perusahaan Menggunakan Seni AI?
AI menghasilkan karya yang "selesai" dalam waktu yang cepat tanpa rasa kesenangan dan kepuasan yang dapat dialami dalam proses yang dijalani, ataupun ide dan teknik pribadi yang menunjukkan kekhasan diri. Seandainya cara kerja AI tidak sama artinya dengan plagiarisme, mungkin AI dan seni AI tidak akan mengalami stigma negatif dalam masyarakat. Walaupun cara kerja AI diubah agar tidak menjiplak gambar tanpa izin, dampak dari penggunaan yang tidak etis sudah merubah pola pikir dan pendapat dunia.
Alangkah baiknya jika AI bisa digunakan dan dikembangkan untuk kebutuhan di bidang lain yang lebih bermanfaat, ataupun secara lebih etis. Untuk saat ini, sebaiknya perusahaan tidak menggunakan seni AI dan terus menghargai banyaknya artis yang sudah ada, akan ada, dan terus bekerja keras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H