Telepon genggam di atas meja itu
Berdering sendiri.
Kita berdua menarik nafas panjang
Entah siapa lagi yang bertamu tengah malam.
Lombok, juga Donggala, belum benar-benar pulang
Banten, juga Lampung, pun baru saja bertandang.
Kita bersitatap, pandang-memandang
Mungkin kaudengar juga
bunyi gemuruh di dada kita:
sengit berkejar-kejaran.
Kring...kring...kring
Telepon genggam itu mendesak kita menyahut
Bunyinya gemeritih, tapi terdengar agak getir.
"Akh, kau ini siapa, bikin gugup tengah malam saja!"
Kau memilih menyahut, meski dengan sedikit gemetar.
Dia diam saja di seberang sana
Merasa tak berhak menjawab.
Kita teringat sepenggal janji
Di halaman terakhir sebuah kalender.
"Ia akan bertamu
pada tengah malam yang dingin
tanpa arak-arakan penyambutan
ataupun ucapan selamat datang."
Sunyi yang panjang sejenak retak
Dan di sekitar telepon genggam itu
Kita duduk dan menangis tersedu,