Setelah menulis beberapa kalimat, Aruna berhenti. Ia menatap kertas gambar di meja, kali ini tanpa keraguan. Pensilnya bergerak, perlahan menggambar sebuah bentuk. Bentuk yang datang begitu alami, tanpa beban. Keputusan itu tiba—tak perlu lagi saling memilih, karena keduanya bisa berjalan berdampingan, seiring langkahnya. Waktu akan menemukan iramanya sendiri, dan semua yang terasa terpisah itu akan menemukan tempatnya, sama pentingnya, sama bernilai.
Dengan sebuah senyum kecil, Aruna melanjutkan gambarnya, kali ini dengan keyakinan yang lebih kuat. Ia tahu, bahwa tidak ada keputusan yang salah jika ia memilih dengan hati.
 Aruna melangkah kembali ke meja pelajarannya, membuka buku-buku yang telah lama menunggu. Ia mulai membaca dan menulis dengan tenang, mengatur waktu dengan lebih bijak. Ia tahu bahwa tidak ada yang lebih penting daripada memberi ruang untuk diri sendiri, tanpa membiarkan salah satunya mengambil alih seluruh hidupnya. Setiap langkah yang ia ambil, baik dalam pelajaran maupun seni, kini berjalan berdampingan.
Aruna kembali ke meja gambar itu setiap kali waktu mengizinkan, mengisi kertas dengan garis dan warna yang ia pilih sendiri. Kadang, ia melukis dengan cepat, mengikuti aliran ide yang datang tanpa ragu, kadang pula ia berhenti, mengamati setiap detail dengan lebih cermat. Ia belajar untuk memberi waktu untuk keduanya—akademik dan seni—tanpa membiarkan salah satunya mengalahkan yang lain.
Pada suatu sore, saat senja kembali memadamkan cahaya, Aruna duduk di bangkunya dengan sebuah lukisan setengah jadi di meja. Di sampingnya, buku pelajaran terbuka, halaman yang penuh angka dan catatan yang kini terlihat lebih tenang, lebih bisa diterima. Di luar, suara riuh teman-temannya yang bersiap untuk pulang terdengar jauh, namun Aruna tidak terburu-buru. Ia tahu, tidak ada yang perlu dikejar atau dikhawatirkan.
Ia telah menemukan jalan yang tak harus memilih salah satunya. Aruna hanya perlu mengikuti langkah yang ia pilih dengan hati, dan dalam setiap langkah itu, ia tahu, ada tempat untuk kedua dunia—dunia yang penuh angka, dan dunia yang penuh warna.
Aruna menatap lukisannya, lalu menutup buku pelajarannya. Dalam diam, ia tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Waktu mungkin terus berjalan, namun kini, ia berjalan bersamanya—tidak mengejar, tetapi mengikuti aliran yang ada. Angin yang bertiup lembut seakan menyatu dengan langkahnya.Â
Setiap goresan di kanvas itu adalah bukti bahwa ia memilih untuk berjalan di jalan yang ia percayai, bukan jalan yang dipaksakan. Dunia tak pernah menghalangi impian yang berani dihadapi.
Seiring berjalannya waktu, Aruna mulai menyadari bahwa hidup bukan sekadar soal angka atau seni. Di awal perjalanan, ia merasa terjebak dalam pilihan yang seolah memaksanya untuk memilih satu dari keduanya.Â
Namun, semakin dalam dia menelusuri keduanya, semakin jelas bahwa kehidupan bukanlah hal yang harus dipahami dengan cara yang kaku dan terpisah-pisah. Kadang, hidup adalah tentang belajar bagaimana menggabungkan dua dunia yang tampaknya berbeda—seni dan angka—untuk menciptakan sesuatu yang lebih bermakna.Â
Dalam seni, dia menemukan kebebasan. Dalam angka, dia menemukan ketertiban. Aruna mulai melihat, bahwa keduanya bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan dua sisi yang saling melengkapi.