Mohon tunggu...
Joanna Angelita
Joanna Angelita Mohon Tunggu... Editor - Pelajar

Mencari cerita disetiap langkah, menikmati perjalanan tanpa tau kemana tujuan akhirnya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dua Dunia dalam Satu Langkah

12 November 2024   07:47 Diperbarui: 12 November 2024   07:56 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Angin sore berbisik pelan, menyusup di antara celah-celah yang tak terlihat. Langit di luar mulai memudar, menyisakan kilau jingga yang perlahan menghilang. Bayangan panjang terpelintir di atas permukaan meja, menari-nari dengan cahaya yang semakin memudar. Hanya suara jarum jam yang terdengar jelas, detakannya mengisi ruang yang sepi, menambah rasa hampa yang menyelimuti.

Di atas meja, kertas yang belum terisi tergeletak, menunggu, seperti sebuah ruang kosong yang terus mengintai. Di sampingnya, sebuah buku terbuka dengan halaman-halaman yang penuh, namun tak ada tangan yang menghaluskan setiap tulisan atau menghitung angka-angka yang sudah lama menunggu. Sementara itu, selembar kertas lain masih tampak begitu kosong, seakan menantang untuk dipenuhi dengan bentuk, namun tak ada yang menyentuhnya.

Seiring berjalannya waktu, suasana seakan terhenti. Angin luar mulai mendingin, menyisakan keheningan yang semakin pekat. Setiap menit yang berlalu menambah jarak antara yang tertinggal dan yang ingin digapai. Ketegangan itu semakin terasa, seolah waktu yang tak henti bergerak justru menunggu sesuatu untuk terisi, sesuatu yang belum ditemukan.

“Kenapa semua ini terasa begitu berat?” Aruna bergumam, suaranya hanya terdengar oleh dirinya sendiri, menyatu dengan suara jam yang terus berdetak. Matanya melirik ke arah kertas yang kosong itu. Seperti ada yang menariknya untuk menggoreskan sesuatu di sana, tapi ia ragu. Di sisi lain, buku yang penuh rumus dan catatan masih tergeletak, menunggu untuk diselesaikan, namun saat ia menatapnya, rasa kebingungannya justru semakin membesar.

Setiap kali tangan Aruna bergerak, seolah ada dua dunia yang saling menarik—satu memanggil untuk menyusun angka dengan rapi, mencari jawaban yang pasti, sementara yang lain mengajak untuk melayang, menciptakan sesuatu yang bebas, penuh warna dan bentuk. Keduanya datang dengan janji yang tak kalah menggoda, namun tak bisa dipenuhi sekaligus.

Di luar jendela, senja semakin gelap, dan suara malam mulai masuk, memberi tekanan lebih pada ruang yang sepi ini. Angin berhembus lebih keras, seakan ikut membawa keraguan yang semakin membesar. Dunia luar sudah bergerak, sedangkan di dalam, hanya ada dua pilihan yang menunggu untuk dijalani.

Setiap malam terasa lebih berat, dan dalam keheningan itu, suara samar dari jauh—sebuah ketukan yang entah berasal dari mana—mengingatkannya akan waktu yang terus bergerak. Tak ada yang tahu seberapa banyak waktu yang tersisa, hanya saja di balik setiap pilihan yang ada, ada hal yang lebih besar menunggu untuk ditemukan. Tapi apakah semua ini akan bisa berjalan seiring, ataukah salah satunya harus ditinggalkan?

Aruna memandangi kertas itu lagi, kini lebih lama. Pensilnya tak lagi hanya tergeletak, tetapi diangkat perlahan, terasa lebih berat dari biasanya. Angin yang masuk melalui celah jendela menyapu permukaan kertas, menggiring selembar catatan yang sempat terjatuh. 

Aruna mengambil catatan itu, memeriksanya sebentar, lalu mengembalikannya ke tumpukan buku lainnya. Untuk sejenak, suara detak jam yang monoton itu berhenti, dan semua yang ada di sekitar terasa menghilang.

Aruna tahu, sesaat ini, apapun yang ia pilih akan terasa benar. Ia tak perlu menunggu kesempurnaan, tak perlu lagi mencari jawaban yang selalu mengintimidasi. Mungkin, kesempurnaan bukanlah soal bagaimana mengisi setiap ruang dengan tepat, melainkan soal bagaimana memilih untuk melangkah. Ia tak harus memilih satu jalan untuk seluruh hidupnya, karena di setiap jalan yang ia ambil, ia bisa mencari cara untuk menyatukannya.

Dengan sebuah napas panjang, Aruna menatap buku pelajaran di meja. Lalu, tangannya bergerak, membuka halaman yang sebelumnya tak terjamah. Ia mulai menulis, bukan dengan kecemasan untuk mengejar waktu, tetapi dengan kedamaian. Angka-angka itu tak lagi menekan. Kali ini, Aruna menulis dengan kesadaran, tanpa tergesa. Ia tahu bahwa ujian itu hanya satu bagian dari perjalanan panjangnya, yang juga bisa ditempuh dengan langkah yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun