Terang semakin larut dalam remang. Malam-Mu kini telah datang, bersiap menggantikan senja yang segera berlalu.
Malam, tak jarang memang begitu mengesalkan dan menyesakkan. Kehadirannya acap kali mendatangkan kegelisahan dan kemuraman. Meski begitu, aku tetap suka menemu malam. Sebab, keberadaanya mampu menyediakan ketenangan dan keheningan. Sebuah keadaan yang memantikku untuk melakukan permenungan. Sebuah prosesi untuk menziarahi situs-situs di masa lalu, untuk mengasah kembali ingatan pada jalan-jalan yang telah ku lalui: jalan-jalan yang membentang dari masa kecil hingga sampai di masa kekinian ini.
Barangkali pameo, “Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah”, atau slogan, “Menolak Lupa!” sudah begitu meng-cultivated-ku sedemikian rupa mengakar di benakku. Entahlah.
Mungkin aku terlalu sentimentil. Namun begitulah yang ku rasakan. Dalam remang kegelapan malam aku merasa ada begitu banyak kisah yang teramat mudah dikais dalam ruang-ruang ingatan. Entah itu kisah yang begitu indah dikenangkan, ataupun kisah yang begitu teramat tragis untuk diulangkan. Ya... seperti saat ini, seperti di malam Paskah ini, malam yang berwangi mimpi, terlecut debu[1].
“Mengapa kita harus mengenang peristiwa yang sudah lama terjadi, sesuatu yang sudah begitu jauh terhempas angin yang dan teramat jauh mengalir?”
Seringkali pertanyaan itu datang menghujam pikiranku. Menghantarkanku berulang kali pada sebuah jalan yang akan terus menghubungkan kenangan akan suka cita dan kepedihanku, bersamamu. Meski pernah ku coba untuk menghempas, melawan, dan melupakan, tetap saja rasa itu kian meradang. Masih saja aku terjebak dalam elegi kenangan, dan terus-menerus mencarimu dalam bayang-bayang.
“.. Ku cari kamu dalam setiap malam.. dalam bayang masa suram.. ku cari kamu dalam setiap langkah.. dalam ragu yang membisu..”[2].
***
Di bukit Sekipan, angin gunung berdesir begitu lembut, membawaku melewati lorong-lorong waktu bersama sejarah yang tak mungkin bisa diputar kembali. Hembusan angin merasuk dan menusuk-nusuk di kesunyian hatiku. Ada semacam lara yang datang beriringan bersamaan dengan rinduku, kepadamu. Aku merindukanmu Aliya. Dan, apakah aku harus berbohong pada diriku sendiri bahwa aku telah bisa menghempaskanmu? Bahwa aku telah sanggup melupakanmu?
Aku tak akan membohongi diriku sendiri Aliya, bila nyatanya aku tak pernah bisa melupakanmu. Bahwa kelebatan sosokmu selalu mengikuti setiap adegan film yang kutonton. Bahwa teduh tatapan matamu senantiasa bermain di imajiku ketika aku sedang membaca kisah-kisah dalam novel romansa. Bahwa kau adalah sosok yang ku bayangkan ketika mendengarkan lagu-lagu melankolia. Dan benar saja, memang aku tak bisa melupakanmu, mengeyahkanmu dan menghempaskanmu begitu saja dari sudut pikiranku.
“..Malam sunyi ku impikanmu.. ku lukiskan kita bersama..namun selalu aku bertanya.. adakah aku di mimpimu..”[3]