Mohon tunggu...
Johan Saputro
Johan Saputro Mohon Tunggu... Lainnya - Pranata Humas Pemkab Grobogan

Alumni Mahasiswa Ilmu Komukasi UIN Suka--Yogyakarta. Pengagum pemikiran Cak Nur, Gus Dur dan Cak Nun. Masih tahap proses pencarian, pemaknaan tentang "hening". Belajar mengerti, memahami dan menghayati "hening", karna dalam "hening" Aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kirana: Hello? It's Me!

10 Januari 2016   10:42 Diperbarui: 10 Januari 2016   16:41 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dari Shutterstock

"..Kucoba memahami tempatku berlabuh... terdampar di keruhnya satu sisi dunia..."

Empat tahun kita sudah tak saling sua. Kita hanya sibuk menerka-nerka apa kiranya yang menerpa dari masing-masing kita: aku terhadapmu, kau terhadapku.

Sore itu tiba-tiba kau mengirim pesan singkat. "Sedang di mana? Aku ingin bertemu," pesanmu. Aku tak perlu bertanya "Siapa?" sebab aku masih hapal betul bahwa itu adalah nomermu meski aku sudah sekian lama menghapusnya. Aku masih mengingat setiap digit angka nomor handphone-mu. Aku pun meng-iya-kan inginmu.

Malam sesudah sore itu kita bertemu di tempat yang kita janjikan. Tempat yang dulu begitu kita akrabi, meski sekarang terasa begitu asing. Sejak tak bersamamu lagi, aku tak pernah mengunjungi tempat ini: Cafe Senju.

Di cafe itu, kita berdua duduk semeja. Kau memesan chocolate milkshake, sementara aku masih belum memesan apa-apa. Setelah empat tahun tak pernah berkomunikasi denganmu, aku merasa canggung untuk memulai percakapan. Empat menit telah berlalu sejak kita berdua tiba, namun kita belum jua memulai percakapan.

"Mungkin aku butuh semacam pelarian Jon. Semacam pengalih perhatian agar tidurku tak disesaki dengan mimpi-mimpi indah kenangan bersamamu. Sebab itu membuatku sakit ketika aku terjaga," katamu mencoba memecah kesunyian yang telah tercipta.

Tak kuduga kau langsung memulai percakapan kita "straight to the point" tanpa basa-basi ha-ha-hi-hi sebagaimana lazimnya teman yang sudah lama tak saling sua. Mungkin begitu besar beban derita yang sudah kau tanggung selama empat tahun ini. Aku terdiam. "Ada yang berubah, kau tidak lagi pemalu mengutarakan perasaan seperti yang dulu," pikirku membatin.

"... Hidup tak ku sesali... mungkin ku tangisi..."


Aku masih terdiam, memandangimu, sorot matamu tampak jauh dan kosong. Entah kau sedang memandangi apa. Aku masih mengagumi kecantikanmu yang masih sama seperti dulu. Aku berusaha mencari-cari abjad, merangkai kata-kata, dan berusaha mengejanya menjadi kalimat yang sempurna. Gagal!

"Meski kau telah lama sekali meninggalkanku, menghilang dari orbitku, tapi kau seperti pesawat tempur musuh Jon, pergerakanmu masih tertangkap radarku, aku masih berharap bisa menjangkaumu...," ungkapmu.

Aku bagaikan pihak tertuduh pelaku tindakan kriminal yang sedang diinterogasi seorang penyidik. Aku tak bisa berkutik. Aku tertunduk. Flash-back Kenangan bersamamu menghambur memenuhi pikiranku. Sial!

"... Hanya kata yang lugas... yang kini tercipta..."


Mendengar kata-katamu membuatku tertunduk. Lusuh tercipta mendekap diriku. Aku kembali teringat kenangan-kenangan kisah yang pernah singgah bersamamu. Di tengah kuncup asmara kita sebagai sepasang kekasih remaja belia yang sedang merekah-rekahnya, aku memutuskan untuk mengambil jarak denganmu, menghilang, dan menarik diri dari segala yang berkaitan tentangmu. "Maaf," kataku. Butir air mata menetes dari matamu. Mulanya aku hanya ingin menguji perasaanku, tentu juga menguji perasaanmu, dengan tidak menghubungimu seintens seperti yang pernah terjadi. Namun yang terjadi aku malah semakin nyaman dengan "kesendirian" dan "kesunyian" yang tercipta. Meski ada sebuah dorongan untuk terus memperhatikanmu, aku berusaha mengabaikannya.


"... Semakin jauh kumelangkah... semakin perih jejak langkahku..."


Sudah setengah jam berlalu. Chocolate milkshake-mu kini tinggal separuh gelas, aku masih belum memesan apa-apa.

"Kau tahu apa yang aku lakukan sejak kamu menghilang?" katamu.

Aku masih terdiam.

"Aku mengkhawatirkanmu! Kau tahu rasanya mengkhawatirkan orang yang bahkan mungkin sudah tak mempedulikanmu lagi? Itu sakit Jon," lanjutmu dengan suara yang bergetar. "Tapi aku masih memikirkanmu, mengenangmu, dan menikmati segala rasa sakit yang tercipta karenanya," ujarmu.

Butir air mata kembali menetes dari matamu. "Aku merasakan kesakitan yang sama," batinku.


"... Hariku pun semakin sombong... meski hidup terus berjalan..."


Aku merasa sunyi. Rasa bersalah mulai menggerogoti hati dan pikiranku. Semua ingatan, dosa, keegoisan, ke-zalim-an, kesesatan berpikir, keputusan yang salah di masa lalu mulai berlesatan bagaikan jarum-jarum cahaya menghujam menghujani pikiran dan perasaanku.

"Maafkan aku...," ucapku lirih, lanjutku, "Apa yang kamu rasakan, sama dengan apa yang aku rasakan. Kirana, maafkan aku sudah mencintaimu, maafkan aku karena aku tak tahu cara yang lain."

Kau menundukkan kepalamu, mengusap air mata yang tak bisa lagi kau bendung dengan tanganmu. "Waktu itu dan sampai kini pun aku masih takut tak bisa mengendalikan perasaan itu, perasaan yang terus menyamarkan rasa sayang yang murni dengan sekadar hasrat ke-tubuh-an untuk memilikimu. Sulit bagiku untuk membedakan keduanya Kirana."


"... Manis seperti mereka... tulus seperti adanya... suci seperti dirimu..."

Bila kuingat lagi, entah berapa kali aku mencoba untuk menghubungimu, meski dorongan itu berhasil aku tahankan. Entah berapa kali aku "mengintai" semua akun media sosialmu. Tak terhitung. Aku turut merasakan ratapanmu, kesedihanmu, kesakitanmu. Aku merasakan hal yang sama. Tapi aku terlalu pengecut.

"Jon terima kasih sudah memberikan kesempatan untuk pertemuan singkat kita ini." Kau tampak membetulkan posisi dudukmu, mengusap pipimu, dan merapikan rambutmu. Kini tanganmu merogoh isi tasmu, lalu kau memberikannya padaku.

"Jon, seminggu lagi aku menikah. Ini undanganku. Kumohon kau untuk datang," ucapmu tegas.

"... Ratapan mulai usang... nur yang kumohon..."

Di cafe itu, kita duduk berdua. Kau memesan chocolate milkshake, sementara aku memesan rasa sakit yang tak putus lengkingnya, memesan rasa lapar yang asing itu. Aku berusaha meyakini, orang-orang mengatakan, waktu jua-lah yang akan menyembuhkan luka, tapi sesungguhnya aku tak yakin luka itu akan terobati.

.......

Hello from the outside (outside)
At least I can say that I've tried
To tell you I'm sorry for breaking your heart
But it don't matter it clearly doesn't tear you apart anymore

........

 

Credit:

NOAH-Kirana (Cover Dewa19)

Adele-Hello

Sapardi Djoko Damono-Di Restoran

Fahd Pahdpepie-Jodoh

True Story 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun