"Maafkan aku...," ucapku lirih, lanjutku, "Apa yang kamu rasakan, sama dengan apa yang aku rasakan. Kirana, maafkan aku sudah mencintaimu, maafkan aku karena aku tak tahu cara yang lain."
Kau menundukkan kepalamu, mengusap air mata yang tak bisa lagi kau bendung dengan tanganmu. "Waktu itu dan sampai kini pun aku masih takut tak bisa mengendalikan perasaan itu, perasaan yang terus menyamarkan rasa sayang yang murni dengan sekadar hasrat ke-tubuh-an untuk memilikimu. Sulit bagiku untuk membedakan keduanya Kirana."
"... Manis seperti mereka... tulus seperti adanya... suci seperti dirimu..."
Bila kuingat lagi, entah berapa kali aku mencoba untuk menghubungimu, meski dorongan itu berhasil aku tahankan. Entah berapa kali aku "mengintai" semua akun media sosialmu. Tak terhitung. Aku turut merasakan ratapanmu, kesedihanmu, kesakitanmu. Aku merasakan hal yang sama. Tapi aku terlalu pengecut.
"Jon terima kasih sudah memberikan kesempatan untuk pertemuan singkat kita ini." Kau tampak membetulkan posisi dudukmu, mengusap pipimu, dan merapikan rambutmu. Kini tanganmu merogoh isi tasmu, lalu kau memberikannya padaku.
"Jon, seminggu lagi aku menikah. Ini undanganku. Kumohon kau untuk datang," ucapmu tegas.
"... Ratapan mulai usang... nur yang kumohon..."
Di cafe itu, kita duduk berdua. Kau memesan chocolate milkshake, sementara aku memesan rasa sakit yang tak putus lengkingnya, memesan rasa lapar yang asing itu. Aku berusaha meyakini, orang-orang mengatakan, waktu jua-lah yang akan menyembuhkan luka, tapi sesungguhnya aku tak yakin luka itu akan terobati.
.......
Hello from the outside (outside)
At least I can say that I've tried
To tell you I'm sorry for breaking your heart
But it don't matter it clearly doesn't tear you apart anymore
........