Aku bagaikan pihak tertuduh pelaku tindakan kriminal yang sedang diinterogasi seorang penyidik. Aku tak bisa berkutik. Aku tertunduk. Flash-back Kenangan bersamamu menghambur memenuhi pikiranku. Sial!
"... Hanya kata yang lugas... yang kini tercipta..."
Mendengar kata-katamu membuatku tertunduk. Lusuh tercipta mendekap diriku. Aku kembali teringat kenangan-kenangan kisah yang pernah singgah bersamamu. Di tengah kuncup asmara kita sebagai sepasang kekasih remaja belia yang sedang merekah-rekahnya, aku memutuskan untuk mengambil jarak denganmu, menghilang, dan menarik diri dari segala yang berkaitan tentangmu. "Maaf," kataku. Butir air mata menetes dari matamu. Mulanya aku hanya ingin menguji perasaanku, tentu juga menguji perasaanmu, dengan tidak menghubungimu seintens seperti yang pernah terjadi. Namun yang terjadi aku malah semakin nyaman dengan "kesendirian" dan "kesunyian" yang tercipta. Meski ada sebuah dorongan untuk terus memperhatikanmu, aku berusaha mengabaikannya.
"... Semakin jauh kumelangkah... semakin perih jejak langkahku..."
Sudah setengah jam berlalu. Chocolate milkshake-mu kini tinggal separuh gelas, aku masih belum memesan apa-apa.
"Kau tahu apa yang aku lakukan sejak kamu menghilang?" katamu.
Aku masih terdiam.
"Aku mengkhawatirkanmu! Kau tahu rasanya mengkhawatirkan orang yang bahkan mungkin sudah tak mempedulikanmu lagi? Itu sakit Jon," lanjutmu dengan suara yang bergetar. "Tapi aku masih memikirkanmu, mengenangmu, dan menikmati segala rasa sakit yang tercipta karenanya," ujarmu.
Butir air mata kembali menetes dari matamu. "Aku merasakan kesakitan yang sama," batinku.
"... Hariku pun semakin sombong... meski hidup terus berjalan..."
Aku merasa sunyi. Rasa bersalah mulai menggerogoti hati dan pikiranku. Semua ingatan, dosa, keegoisan, ke-zalim-an, kesesatan berpikir, keputusan yang salah di masa lalu mulai berlesatan bagaikan jarum-jarum cahaya menghujam menghujani pikiran dan perasaanku.