Mohon tunggu...
zainudin zen
zainudin zen Mohon Tunggu... karyawan swasta -

senantiasa bersyukur atas semua yang ada

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mengapa 1 U$D Tidak Dipatok Sama Dengan 1 (Satu) Rupiah Saja??

17 Desember 2014   01:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:10 4014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebulan ini ini fluktuasi rupiah memang cukup mencemaskan. Rupiah bertengger pada kisaran rate Rp 12.300 – Rp 12.700 per USD. Terdepresiasi lebih dari 20 persen sejak stabil dikisaran Rp Rp.9000 – Rp. 10.000 dua tahun silam. Bila sampai menyentuh batas psikologis Rp 15.000, rupiah dikhawatirkan bisa terjun bebas di angka Rp 20.000. Kekhawatiran bayang bayang krisis moneter pun ada di depan mata.

Mungkin sebagian orang bertanya tanya, kenapa kita harus peduli dengan nilai tukar rupiah atau pasar saham segala. Mengapa kurs rupiah tidak dibandrol dengan kurs yang tetap ( fixed ), mengapa harus mengambang (floating). Apa hubungannya pergerakan saham di lantai bursa dengan asap yang mengepul dari dapur kita.

Bukankah lebih simple menjadikan 1 USD sama dengan Rp1000 rupiah saja atau malah Rp 1 kalau bisa, jadi posisi USD equal dengan IDR. Seorang mahasiswa jurusan ekonomi tentu akan mudah menerangkannya secara rinci, tapi mereka akan kesulitan menjelaskan kepada ibu ibu yang di pasar tradisional itu, mengapa harga harga terus melambung tinggi seiring naiknya USD terhadap rupiah.

Dengan sistem ekonomi modern (kapitalis) seperti sekarang maka disamping sebagai alat tukar, mata uang pun termasuk dalam kategori barang yang bisa diperjual belikan. Sama seperti barang barang konsumsi yang tiap hari kita beli di pasar. Karena termasuk barang dagangan maka harga (kurs) sebuah mata uang akan mengikuti hukum ekonomi penawaran dan permintaan. Bila stok barang berkurang harga cenderung naik, demikian pula sebaliknya.

Menjadikan kurs rupiah sama ( equal ) dengan USD pun sebenarnya bisa bisa saja. Katakan hari ini Bank Indonesia (BI) tiba tiba mengumumkan bahwa kurs rupiah dipatok fixed 1 USD = 1 Rupiah. Itu artinya meski di pasar valas harga riil rupiah dibandrol Rp 12.500 per dollarnya, BI akan menjualnya dengan harga jauh dibawahnya. Cukup butuh Rp1 untuk membeli 1 dollar, murah bukan.

Sebagian publik pun senang karena bisa membeli berbagai barang impor dengan harga yang sangat murah. Lantas dari mana dollar Bank Indonesia berasal, tentu dari cadangan devisa negara yang per Desember 2014 nilainya sekitar 112 milyar USD.

Tapi Begitu BI merilisnya, detik itu juga para spekulan valas langsung ramai ramai memborong dollar yang yang di jual BI dengan sangat murah itu. Cadangan devisa RI yang hanya sekitar 112 milyar USD itu ibarat buih di samudra yang luas bila melawan liquiditas pasar global. Mungkin dalam hitungan jam langsung ludes. Selanjutnya ? bisa dipastikan Indonesia bangkrut.

Kok bisa?

Akibat intervensi BI diatas maka rupiah mungkin akan terkoreksi sedikit. Taruhlah kurs rupiah kemudian menjadi Rp 9000, tidak Rp 12.500 lagi. Tapi beberapa jam setelah cadangan dollar RI ludes diborong pasar, untuk kebutuhan impor, bayar cicilan utang luar negeri uang dollarnya darimana?? Tentu harus beli di pasar valas lagi yang harganya mungkin sudah bertengger kembali di kisaran Rp12.500. Kurs Rp 9000 per USD mungkin hanya kita nikmati dalam hitungan jam saja.

Negara menjualual 1 USD = 1 Rupiah tapi kemudian harus beli USD lagi dengan harga Rp 12.500. Ujung ujungnya ekonomi nasional bakalan kolaps. Bisa jadi pasien IMF dan World Bank seperti tahun tahun kemarin. Masyarakat lagi yang susah. Sudah lazim terjadi dimanapun di dunia, dua lembaga keuangan ini anti sama yang namanya subsidi buat orang miskin.

Demikian juga dengan pasar saham. Sering orang mengkritik tidak ada korelasi langsung antara indeks IHSG dengan dengan ekonomi riil di lapangan. IHSG naik atau turun mana ada pengaruhnya dengan kondisi nyata sehari hari.

Anggapan ini salah. Pelaku pasar (investor asing) adalah pihak pihak yang selalu memantau fundamental ekonomi suatu negara setiap saat. Mereka ini jeli mempelototi angka angka yang merupakan indikator moneter sebuah negara. Tingkat penangguran, defisit neraca perdagangan, inflasi, posisi utang luar negeri, rasio GDP, cadangan devisa adalah indikator indikator ekonomi yang tak mungkin lolos dari pengamatan mereka barang sedetik pun.

Begitu mereka menilai bahwa indikator indikator itu sudah berwarna merah, itu artinya warning bagi mereka untuk segera angkat kaki dari lantai bursa sebuah negara. Kalau orangnya saja yang pergi tidak apa apa , lha ini semua mereka bawa mulai uang sampai istri mudanya pindah semua.

Efeknya adalah panic selling di bursa, harga saham anjlok bebas. Ujung ujungnya trust kepada ekonomi nasional pun goyah, rupiah kembali melemah. Kalau sudah kepercayaan yang hilang maka tinggal tunggu waktu saja hingga bank bank mengalami rush seperti tahun 1997 kemarin dengan ancaman hiper inflasi di depan mata.

Jadi jangan mengira kurs rupiah dan pergerakan lantai bursa itu tidak ada hubungannya dengan asap dapur kita...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun