Terdapat adagium dalam hukum yang mengatakan, "nullum crimen nulla poena sine lege praviae," atau tiada hukuman yang dapat dijatuhkan kepada kejahatan bila tidak ada aturan yang mendahului dan mendasari hukuman itu. Hal ini menjadi dasar berpikir dalam hukum pidana dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan. Semua hukum pidana yang ada di dunia sekarang mengikuti aturan dari adagium itu. Mahkamah Agung Kanada mengatakan,
"The rationale underlying this principle is clear. It is essential in a free and democratic society that citizens are able, as far as is possible, to foresee the consequences of their conduct in order that persons be given fair notice of what to avoid, and that the discretion of those entrusted with law enforcement is limited by clear and explicit legislative standards." (R. v. McDonnell, [1997] 1 S.C.R. 948)
Di Indonesia sendiri, konsep adagium ini sudah ada sejak abad ke-18, disaat hukum Belanda mulai masuk ke Indonesia. Pasal 2 dari Algemene Bepalingen van Wetgeving pada tanggal 30 April 1847 (Ketentuan Umum tentang Perundang-undangan),
"De wet verbindt allen voor het toekomende en heeft geen terugwerkende kracht." (undang-undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku surut)
Adagium ini tidak hanya terdapat dalam Latin, tetapi dalam hukum Islam pun ada, misalnya dalam Surat Al Isra: 15 dan Al Anfal: 38.
Surat Al Isra: 15, "Barangsiapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa tersesat maka sesungguhnya (kerugian) itu bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.
Surat Al Anfal: 38, "Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya), 'Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu; dan jika mereka kembali lagi (memerangi Nabi) sungguh, berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu (dibinasakan).'"
Dalam hukum pidana Indonesia, adagium ini terdapat dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu
"(1) Â Â Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
(2) Â Â Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya."
Tujuannya adalah agar terjadi kepastian hukum dalam penegakan hukum bagi para penduduk yang selayaknya harus tahu bahwa perbuatan yang ia lakukan merupakan tindak pidana atau tidak. Bagi Wirjono Prodjodikoro, tujuan dari adanya aturan ini adalah agar memenuhi rasa keadilan di masyarakat, sesuai dengan sikap saya pada umumnya terhadap hukum (Prodjodikoro: 2014).
Dalam hubungannya dengan dunia internasional, sudah sangat banyak terdapat dalam perjanjian internasional. Misalnya dalam Pasal 24 Statuta Roma tentang ratione personae non-retroaktif, dalam Pasal 15 ayat (2) European Convention on Human Right, Universal Declaration of Human Rights, African Charter on Human and Peoples' Rights, International Covenant on Civil and Political Rights.Â
Dari kesemuanya itu, poin utamanya jelas, adalah agar orang yang dipersangkakan oleh negara sebagai pelaku kejahatan tidak dilanggar hak-hak asasi manusianya dan menciptakan kepastian dalam menghukum orang-orang yang bersalah.
Akan tetapi, menjadi permasalahan apabila dalam menjalankan adagium ini dengan menggunakan kerangka berpikir hukum yang salah atau keliru. Misalnya menggunakan asas praduga bersalah dalam menghukum terdakwa bukan dengan asas praduga tidak bersalah. Hasil daripada penggunaan itu tentu saja terdakwa dianggap bersalah dalam pengadilan dan mendapatkan diskriminasi hukum serta pasti banyak hak asasinya yang dilanggar oleh penegak hukum.
Contoh nyata dari penggunaan asas praduga bersalah yang benar terjadi adalah Law of 22 Prairial tanggal 10 Juni 1794 yang dikeluarkan oleh Committee of Public Safety pimpinan Robespierre pada zaman Revolusi Perancis 1792.Â
Dimana Robespierre bersama Couthon memperbolehkan para penegak hukum untuk memutus seseorang bersalah tanpa perlu pembuktian dengan saksi-saksi yang didatangkan ke pengadilan, sehingga menitikberatkan kepada hakim untuk memutuskan dengan dasar terdakwa harus membuktikan dirinya tidak bersalah di hadapan hakim.Â
Akibatnya, banyak orang yang diputus secara serampangan karena saking banyaknya kasus yang masuk dan hakim yang kewalahan menangani hal tersebut.
Oleh karena itu, penting adanya setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah didasarkan pada adagium ini sehingga setiap orang yang berhubungan dengan hukum mendapatkan kepastian dari hukum itu sendiri dan tidak didasarkan pada hukum rimba semata.
Daftar Pustaka
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H