Sungguh respon yang sangat brutal dari seorang Ponix Amale. Setelah menerima kata-kata seperti itu, Mei mengeluarkan sebuah amplop merah muda dari saku roknya, dan berusaha memberikannya kepada Ponix agar dia lebih mengerti maksud dari tindakan Mei daripada harus menerka rangkaian kata yang keluar dari mulut Mei.Â
Sekali lagi, Ponix memberanikan diri untuk mengambil surat itu, namun Ponix berjalan ke arah Mei sambil menutup matanya dan perlahan berjalan ke arahnya. Ketika amplop itu hampir diraih oleh Ponix, pemuda mabuk yang mengendarai mobil Volvo tadi menghempaskan Mei ke tembok gerbang sekolah. Nyawa Mei dan pemuda itu tidak terselamatkan.
Sesaat setelah kejadian itu, Ponix membuka matanya, terdiam lemas memandang kedua jasad di depannya. Seorang lelaki yang bermimpi menjadi polisi itu tidak henti menyalahkan dirinya karena gagal melindungi orang di sekitarnya. Dalam hatinya, dia mengecap dirinya sebagai sebuah kegagalan. Menjerit tanpa suara, menangis tanpa air mata, begitulah kondisinya. Pada saat yang tepat, Chronos telah tiba dan menjumpai Ponix.
      "Permisi. Apakah kau yang bernama Ponix Amale?"
      "I-iya. Itu namaku, si payah ini."
      "Hai, Ponix. Namaku Chronos. Apa keluhanmu?"
Ponix menceritakan semua kronologi yang terjadi di depan matanya serta menceritakan perasaannya sekarang. Tanpa berlama-lama, Chronos menjentikkan jarinya. Secara ajaib, dia membalikkan semua keadaan pada lima menit sebelum peristiwa tragis itu terjadi. Ponix yang tiba-tiba berada kembali di dalam ruang kelas terkejut saat melihat realita yang berubah seketika. Sementara itu, Chronos duduk di samping Ponix.
      "Hei, Nak. Cepatlah bertindak. Waktumu sisa lima menit," bisik Chronos.
      "Bertindak? Apa maksudmu?" tanya Ponix sambil mengangkat satu alisnya.
      "Apa kau lupa? Sebentar lagi, perempuan yang duduk di sana akan meninggal karena ulah bodohmu." Chronos menunjuk ke arah Mei.
      "Mei? Mei!" Ingatan Ponix mulai kembali.