Sangat menarik membaca berbagai ulasan mereka mengapa Efek Jokowi terkunci, atau lebih tepatnya dikunci, sehingga perolehan suara PDIP mentok pada angka sekitar 20% suara dalam hitung cepat.
Langkah PDIP yang memberi mandat Gubernur Jakarta, Joko Widodo atau Jokowi, sebagai calon presiden pada tanggal 14 Maret, hanya tiga minggu sebelum pemilu, dianggap terlalu mepet dan tak cukup waktu untuk menggenjot Efek Jokowi secara maksimal. Selain faktor pencapresan yang dinilai terlambat, keroyokan negative campaign bertajuk “Asal Bukan Jokowi” hingga kurang sigapnya internal PDIP menggenjot iklan dianggap sebagai upaya yang sistematis untuk mengunci naiknya gelombang Efek Jokowi.
Keroyokan kepada Jokowi tak hanya dari kompetitornya, sesama calon presiden, yang sangat gencar, melainkan juga dari mantan-mantan lawan politiknya ketika masa pilkada yang ternyata belum bisa “move on”. Salah satu bukti yang sangat kasat mata adalah menghilangnya Jokowi dari pemberitaan beberapa media televisi milik para pemilik partai sejak ia resmi dicapreskan. Bahkan iklan yang sangat menyudutkan Jokowi justru ditayangkan grup MNC, milik Hary Tanoesudibyo dari partai Hanura, walau tak jelas siapa pembuat iklan berharga ratusan juta Rupiah tersebut.
Sayangnya, walau PDIP sudah berupaya melakukan serangan udara dengan series iklan televisi bertajuk Indonesia Hebat yang cukup gencar, namun iklan Indonesia Hebat yang dibesut oleh Marcomm milik Ipang Wahid, orang di balik kampanye Fauzi Bowo dalam kampanye Pilkada DKI dua tahun silam, itu hanya menampilkan Puan dan sang ibu yang ketua partai. Iklan Indonesia Hebat justru seperti abai memanfaatkan popularitas dan elektabilitas Jokowi.
Barulah pada tiga hari menjelang hari tenang saja kita melihat Jokowi muncul sebagai bintang iklan di televisi nasional. Itu pun dengan materi iklan yang sangat sederhana dan singkat. Sayang, sungguh sayang! Bandingkan saja dengan iklan gencar capres lainnya, Aburizal Bakrie dan Prabowo Subianto, yang bahkan sudah mengudara sejak beberapa tahun silam. Bahkan capres dari partai papan tengah seperti Mahfud MD nampaknya lebih banyak mengudara dari iklan televisi yang menampilkan Jokowi. Perlu diingat bahwa medium televisi adalah salah satu sarana yang paling mudah diakses oleh 186 juta orang pemilih yang tersebar di pedesaan. Masyarakat akar rumput di pedesaan yang jauh dari akses informasi masih banyak yang belum paham bahwa Jokowi adalah capres PDIP.
Berikut adalah kutipan dari berbagai media berpengaruh yang mencoba menyoroti masifnya gerakan mengunci Efek Jokowi.
1. TIME, Amerika Serikat
Rakyat Indonesia berbondong-bondong menuju ke TPS untuk mengikuti pemilihan umum, suatu semangat antusiasme yang nyaris tak terbayangkan sebelumnya. Ghirah ini diyakini karena adanya Efek Jokowi. Joko Widodo atau Jokowi adalah kandidat calon presiden yang sangat populer dan dipuji sebagai magnet dibalik melesatnya harga saham hingga menguatnya nilai tukar Rupiah setelah dimandatkan menjadi calon presiden.
Perlu dicatat bahwa Golongan Putih atau Golput selama ini terus meningkat, naik menjadi 29% pada pemilu 2009 dari angkat 16% pada pemilu 2004. Namun dengan adanya pencapresan Jokowi, politisi yang dikenal merakyat tersebut, diyakini mampu menggerakkan Golput untuk ikut mencoblos.
“Jokowi dilihat sebagai figur alternatif, ” jelas Wimar Witoelar, mantan juru bicara presiden Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur. “Banyak pemilih pemula yang memutuskan untuk ikut pemilu untuk memenangkan PDIP, sekaligus mengurangi angka Golput.”
Taji Jokowi yang sesungguhnya akan dipertaruhkan nanti pada pemilihan presiden karena 186 juta orang pemilih Indonesia Rabu kemarin baru mencoblos 235,000 caleg yang berlaga untuk mendapatkan sekitar 19,700 kursi legislator. Sedangkan pemilihan presiden baru akan dilakukan pada bulan Juli nanti.
2. KOMPAS, Indonesia
Pengamat politik dari Polmark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah, menilai PDI-P terlalu menganggap enteng pertarungan politik dalam Pileg 2014. Kemenangan itu, kata Eep, harus dijemput.
Mantan pengajar di Universitas Indonesia ini menyebut PDI-P unggul dalam Pileg 2014 karena kompetitornya kerap melakukan kesalahan. "PDI-P seperti pemain bulu tangkis, dapat banyak poin bukan karena smash-nya yang menukik tajam, serangan yang mengejutkan, melainkan karena lawan mereka banyak yang permainannya menyangkut di net atau out," ujar Eep.
Untuk menghadapi kecilnya efek Jokowi ini, menurut Eep, PDI-P perlu introspeksi diri. Harus ada introspeksi serius mengapa PDI-P tidak disukai seperti halnya Jokowi. "Kalau yang membuat para pemilih tidak suka pada PDI-P melekat juga pada Jokowi, daya tolak orang akan tinggi. Harus ada introspeksi," tutur Eep.
"Saya lihat, faktor lainnya, PDI-P terlambat memastikan Jokowi sebagai calon presiden," kata Koordinator Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang, dalam acara bincang-bincang di Kompas TV, Kamis (9/4/2014).
3. JAWA POS, Indonesia
Menurut pengamat komunikasi politik Heri Budianto, dampak pencapresan Jokowi atau yang dikenal dengan istilah Jokowi effect tidak signifikan karena minimnya sosialisasi. Dosen di Universitas Mercu Buana itu mengatakan, anda saja sosialisasi pencapresan Jokowi lebih massif maka Jokowi effect bisa melambungkan perolehan suara PDIP di pileg bisa tembus 30 persen.
“Tetapi memang sosialisasinya tidak maksimal sehingga efek Jokowi tidak terlalu menaikkan suara partai secara signifikan. Lihat saja iklan-iklan PDI Perjuangan, justru bukan figur Jokowi yang dijual," katanya saat dihubungi, Rabu (9/4) malam.
Heri menambahkan, sebenarnya Jokowi punya daya tarik untuk memperkuat dukungan ke PDIP. Heri lantas mencontohkan partai selain PDIP yang massif menjual figur untuk menggaet dukungan publik. Misalnya Gerindra dengan fugur Prabowo Subianto, atau PKB yang aktif mengusung nama Jusuf Kalla, Rhoma Irama dan Mahfud MD.
Tapi, lagi-lagi Heri mengatakan, PDIP justru tidak memanfaatkan Jokowi melalui komunikasi politik yang baik. Padahal, lanjut Heri, Jokowi bisa dimanfaatkan untuk menggaet massa mengambang. “Ini kegagalan komunikasi politik PDI Perjuangan yang tak pandai merespon harapan publik," ulas pria yang memimpin lembaga PolComm Institute itu.
4. TODAY ONLINE, Singapura
Para pengamat menyalahkan terkuncinya efek Jokowi pada internal PDIP yang kurang cekatan untuk mengkapitalisasi popularitas Jokowi dalam kampanyenya.
“Efek Jokowi tidak muncul karena sepertiga pemilih tidak menyadari bahwa Jokowi sudah resmi menjadi kandidat presiden PDIP, “ jelas Burhanuddin Muhtadi dari Indikator Politik Indonesia dalam wawancara televisi.
Yunarto Wijaya dari Charta Politika menambahkan bahwa hal itu lantaran PDIP yang memilih lebih menampilkan keluarga Megawati (Puan Maharani-red) sebagai ujung tombak dalam kampanye di televisi. “Sayang sekali bahwa potensi Jokowi untuk memenangkan PDIP dilewatkan begitu saja.” Jelasnya
5. WALL STREET JOURNAL, Amerika Serikat
“Hasil hitung cepat pemilihan umum sudah diumumkan dan hasilnya menunjukkan bahwa Efek Jokowi menghilang,” jelas Wijayanto Samarin, wakil rektor Universitas Paramadina. “ Nampaknya kampanye negatif yang gencar terhadap Jokowi berhasil melemahkannya.”
6. GATRA, Indonesia
"PDI-P memang memenangkan pemilu legislatif tapi perolehan suaranya jauh dari perkiraan sejumlah poling yang dilakukan sebelumnya," kata peneliti senior Phillips J Vermonte dalam konferensi pers CSIS dan Cyrus Network di Jakarta Pusat. Menurutnya elektabilitas Jokowi yang tinggi tidak mampu mengkatrol perolehan suara calon legislatif dari PDI-P.
Phillips J Vermonte mengatakan caleg PDIP terlalu mengandalkan nama Jokowi sehingga kurang berusaha keras mendekati konstituennya, sementara itu caleg dari partai lain bekerja lebih keras dan hasilnya bisa meraih suara nasional yang tidak terlalu jauh dari perolehan PDI-P.
7. REPUBLIKA, Indonesia
Pengamat Politik CSIS, J Kristiadi menyatakan PDIP kurang maksimal menggerakkan mesin politik. Hal ini mengakibatkan pencapresan Jokowi tidak berpengaruh terhadap perolehan suara PDIP.
Sepertinya, jelas Kristiadi, masih ada resistensi di internal PDIP terhadap pencapresan Jokowi. "Ini menyebabkan PDIP dengan pencapresan Jokowi belum mampu meyakinkan masyarakat," jelasnya.
Lagi pula, Kris menilai deklarasi pencapresan Jokowi jangan dijadikan mantra penyihir simpati masyarakat. Pencapresan Jokowi dinilainya tidak memberikan efek perolehan suara PDIP. "Jadi, Jokowi adalah PDIP, atau sebaliknya, itu belum maksimal," jelas Kris.
8. THE JAKARTA POST, Indonesia
Mesin politik PDIP dianggap lemah mengkapitalisasi Efek Jokowi untuk mendapatkan penambahan suara yang signifikan. Arya Fernandes dari Charta Politika menyampaikan bahwa PDIP kemungkinan besar hanya bisa meraup hingga 22 % suara atau jauh dibawah 30% suara yang diharapkan di atas kertas.
“Hasil hitung cepat merupakan ujian bagaimana PDIP mengolah faktor Jokowi untuk hasil pemilihan yang maksimal. Namun kenyataan menunjukkan bahwa Efek Jokowi tidak bisa dimanfaatkan dengan maksimal,” jelas Arya.
9. DW Akademie, Jerman
Pemberian mandat sebagai calon presiden PDIP pada Jokowi sangat dirasakan efeknya. Jokowi adalah kartu truf PDIP untuk mendapatkan suara. Sebagaimana terlihat dalam survey-survey sebelumnya, dan dalam hasil hitung cepat. Beberapa orang mengatakan bahwa efek Jokowi kurang memuaskan dalam pemilu kali ini. Namun satu fakta penting yang tak terbantahkan adalah, dia dan partainya memimpin perolehan suara.
Para pemilih pemula di Indonesia sebenarnya terbagi menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah mereka yang punya cukup informasi, baik melalui media sosial maupun medium lain. Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang sulit mendapatkan akses informasi sehingga tidak memiliki acuan dan mungkin juga kadung kecewa pada peta politik di masa lalu lewat komentar miring kawan-kawan mereka pada para politisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H